“Korupsi.. korupsi…dan.. korupsi..” itulah coreng moreng wajah Indonesia di mata dunia. Sejak era penjajahan Belanda, era kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga era reformasi, virus korupsi telah menggerogoti tubuh bangsa tercinta ini. Bagai hama penyakit yang ‘tidak ada matinya’, korupsi telah membuat langkah pembangunan bangsa menjadi lemah dan terseok-seok. Sangat menarik meninjau kembali sejarah kasus-kasus korupsi selama itu. Semakin menarik jika kita kaitkan dengan strategi yang dibangun pemerintah untuk menanganinya. Dengan demikian kita mendapat sebuah pembelajaran yang tepat, bagaimana strategi ke depan yang lebih efektif.
Riwayat Korupsi di Indonesia
Riwayat korupsi di Indonesia amatlah panjang. Pada tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) runtuh lantaran korupsi. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada paruh kedua abad 18 VOC digerogoti oleh korupsi yang akut. Pada tanggal 12 Desember 1642 Gubernur Jendral Antonio Van Diemen menyurati Heeren XVII tentang parahnya korupsi yang terjadi di tubuh VOC. Berbagai upaya untuk memberantas korupsi di dalam tubuh asosiasi dagang ini tak berhasil. Konon penyebab utamanya adalah kecilnya gaji yang diterima oleh para pegawai VOC. Dengan alasan gaji yang kecil, pada saat itu para pejabat VOC banyak yang melakukan kerjasama dagang dengan para pedagang Portugis, India, atau Perancis. Bahkan praktek tersebut dikerjakan sebagai prioritas ketimbang kerja untuk VOC sendiri. Tak jarang mereka memanfaatkan kapal VOC untuk mengangkut barang yang bukan diperuntukkan bagi VOC sendiri. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan di London pada tahun 1743, “A Description of Holland, or the Present State of the United Provinces,” dilaporkan banyak kapal VOC yang karam akibat kelebihan muatan.
Persoalan korupsi ini tidak tuntas tatkala VOC digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sistem birokrasi Hindia Belanda yang mengenal dua sistem, Bestuurs Beambten (BB) dan Pangreh Praja, memicu tindakan korupsi dalam bentuk yang lain. Pada masa Tanam Paksa, 1830-1870, penduduk pribumi diwajibkan untuk menanam beberapa jenis tanaman yang laku di pasar-pasar Eropa. Menurut peraturan petani diharuskan untuk menanami 1/3 bagian dari tanahnya bagi tanaman wajib tersebut. Umumnya tanaman tersebut berusia tahunan seperti kopi, teh, atau nila. Berdasarkan peraturan, para petani harus mengubah 1/3 bagian dari sawah-sawah produktif mereka untuk tanaman tersebut dan meluangkan 1/3 waktu mereka untuk mengawasinya.
Akan tetapi dalam prakteknya, kepala desa, demang, wedana, atau bupati yang bertanggung jawab atas tanam paksa tersebut justru memaksa para petani untuk menanami 2/3 bagian dari tanahnya untuk tanaman wajib. Keuntungan yang didapat sudah barang tentu masuk dalam kantung pribadi para pejabat tersebut. Sementara itu residen-residen dan pengawas (controluer) Hindia Belanda mendiamkan saja praktek tersebut karena mendapat bagian yang tidak sedikit. Taklah heran bila pada masa Tanam Paksa wabah penyakit dan kelaparan melanda penduduk pedesaan, terutama di Pulau Jawa, karena di dalam prakteknya mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengawasi tanaman tahunan yang diwajibkan dan tak memiliki waktu lagi untuk sawah-sawah mereka. Belum lagi 1/3 bagian yang dapat mereka tanami untuk padi, tak mencukupi kebutuhan keluarga mereka dalam setahun.
Situasi tersebut tidak berubah banyak meskipun sistem Tanam Paksa dihapuskan pada tahun 1870 dan diganti oleh sistem perekonomian liberal, dimana perusahaan-perusahaan swasta diizinkan untuk membuka perkebunan-perkebunan dalam skala besar. Persoalannya masih sama, yaitu gaji yang terlalu kecil mengakibatkan para pejabat mengambil keuntungan pribadi dari sistem yang ada.
Dalam catatan banyak ahli sejarah, periode pendudukan Jepang dipercaya sebagai masa merajalelanya korupsi. Pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia sebagai arena perang, dimana segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan untuk kepentingan perang bala tentara Dai Nippon. Sangat sulit untuk mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu. Namun kesulitan tersebut “agak tertolong” jika ada yang mau berkolaborasi dengan pemerintah pendudukan Jepang. Jika ada yang mau menjadi corong kepentingan Jepang, maka kesulitan untuk mendapat pakaian atau bahan makanan sedikit teratasi.
Memasuki era kemerdekaan tahun 1945-1949, negara Indonesia yang baru lahir lebih banyak disibukkan dengan persoalan penataan sistem politik. Melalui kesepakatan yang diperoleh pada Perjanjian Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 secara resmi kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, walaupun sebagian besar sektor perekonomian masih dikuasai oleh Belanda. Pada tahun 1951 desakan untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, dan perusahaan Barat lainnya, semakin kuat. Akhirnya, di tahun 1958 ini pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 86/1958 tentang kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, terutama pada sektor perkebunan, minyak dan gas bumi, serta pertambangan.
Sebelum adanya undang-undang nasionalisasi tersebut, dengan alasan untuk memberikan proteksi kepada pengusaha-pengusaha pribumi, pemerintah Indonesia menerapkan suatu kebijakan yang diberi nama Politik Benteng. Berdasarkan kebijakan ini pengusaha-pengusaha pribumi diberikan bantuan kredit dan fasilitas, salah satunya adalah lisensi untuk mengimpor barang. Laba yang diperoleh oleh para pengusaha pribumi tersebut, dari penjualan barang impor di dalam negeri, diharapkan dapat menjadi modal untuk melakukan ekspansi usaha.
Namun pada akhirnya Politik Benteng ini tidak melahirkan pengusaha pribumi yang tangguh. Yang muncul justru praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Pengusaha-pengusaha yang mendapatkan lisensi tersebut hanyalah pengusaha-pengusaha yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik yang dominan. Pengusaha-pengusaha pribumi “dadakan” tersebut sama sekali tidak memiliki bekal kemampuan usaha yang memadai. Akhirnya mereka hanya “menyewakan” lisensi yang mereka miliki kepada pengusaha-pengusaha swasta lainnya, yang umumnya berasal dari pengusaha keturunan Cina. Praktek kongkalingkong inilah yang melahirkan istilah Ali-Baba. Si Ali yang memiliki lisensi dan di Baba yang memiliki uang untuk modal kerja lisensi tersebut.
Upaya untuk melakukan rasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, dan Barat lainnya, justru melahirkan persoalan baru. Sebelum UU tersebut diberlakukan pada tahun 1958, pihak militer telah melakukan aksi sepihak dan merebut perusahaan-perusahaan asing. Pada tanggal 13 Desember 1957 Mayor Jenderal A.H. Nasution (KSAD pada saat itu) mengeluarkan larangan pengambilalihan perusahaan Belanda tanpa sepengetahuan militer dan menempatkan perusahaan-perusahaan yang diambil alih tersebut di bawah pengawasan militer. Dapat dikatakan hingga tahun 1958 perusahaan-perusahaan yang diambil alih tersebut berada sepenuhnya di bawah pengawasan militer. Merekalah yang pada akhirnya memiliki wewenang untuk memberikan hak pengelolaan kepada pihak lain. Praktek ini lagi-lagi menimbulkan bentuk KKN baru dan praktek Ali-Baba, karena pengusaha-pengusaha swasta yang mendapatkan hak pengelolaan tersebut adalah pengusaha-pengusaha yang telah lama dekat dengan pihak militer.
Isu korupsi mulai terangkat pada media massa antara tahun 1951-1956 oleh koran lokal, Indonesia Raya yang dipandu oleh Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Menteri Luar Negeri saat itu menyebabkan koran tersebut kemudian dibreidel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi Perdana Menteri saat itu, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada sang Menteri, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut, mantan Menteri Penerangan, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Ironisnya, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru dipenjara pada tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Presiden Soekarno.
Memasuki era orde baru, awalnya pemerintahan berjalan cukup baik. Namun memasuki 10 tahun kedua, kasus korupsi mulai muncul yang dimulai dengan terkuaknya kondisi keuangan Pertamina yang mengalami kerugian besar. Kasus ini mengindikasikan pengelolaan keuangan negara yang tidak sehat pada Pertamina. Berikutnya, kasus-kasus korupsi muncul silih berganti. Yang menonjol antara lain pada tahun 1993, terjadi pembobolan pada Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) yang dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya. Pada kasus tersebut negara dirugikan sebesar Rp 1.3 Triliun. Kemudian kasus HPH dan Dana Reboisasi. Dari hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun. Bob Hasan sendiri telah divonis enam tahun penjara setelah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Sementara Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar.
Pertamina sendiri masih belepotan dengan korupsi. Dugaan korupsi dalam Technical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendopo, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara diperkirakan sebesar US $ 24.8 juta. Selanjutnya kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exor I) di Balongan, Jawa Barat. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 juta dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.
Puncak korupsi di era orde baru terjadi pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Mantan pejabat BI yang terlibat pengucuran BLBI (Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo) dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara. Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum antara lain : Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern). Hingga akhir tahun 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus.
Memasuki era reformasi pada tahun 2000, ternyata tidak dapat juga memangkas korupsi di Indonesia. Pada era ini muncul istilah ‘desentralisasi korupsi’ yaitu korupsi yang tidak hanya terpaku dilakukan oleh para pejabat pemerintahan, namun sudah melebar dilakukan oleh legislator, dunia usaha, hingga masyarakat umum. Korupsi tidak berpusat di Pemerintah Pusat, namun melebar ke daerah-daerah. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada era ini menguak gambaran yang lebih jelas tentang korupsi di Indonesia. KPK mampu membuka banyak kasus-kasus korupsi di Indonesia hingga memberi kesan di era reformasi ini korupsi lebih parah. Kasus korupsi yang terkuak sebagian besar adalah kasus suap atau gratifikasi yang melibatkan pejabat-pejabat dengan posisi strategis dalam penegakan hukum di Indonesia, seperti anggota legislatif, Hakim Agung, Jaksa, dan lainnya.
Fenomena korupsi lain yang menonjol adalah korupsi dalam pengelolaan keuangan negara/daerah oleh para Kepala Daerah sebagai konsekuensi tingginya biaya pencalonan dan pemilihan Kepala Daerah. Pada umumnya Gubernur/Bupati/Walikota terpilih menutupi tingginya biaya pemilihan dengan cara melakukan penyimpangan dalam pengelolaan APBD. Sampai dengan tahun 2010, setidaknya 150 Kepala Daerah dari sekitar 400 Kepala Daerah telah dikeluarkan ijin pemeriksaan terkait indikasi adanya korupsi.
Memperhatikan jalan panjang korupsi di Indonesia, tampaknya virus ini masih akan terus bercokol di negara ini jika tidak ditangani secara tepat. Perlu perjuangan ekstra keras untuk membasminya. Strategi pemberantasan yang efektif perlu dibangun dan dilaksanakan secara konsisten.
Naik Turunnya Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia layaknya roller coaster yang berjalan naik turun secara ekstrem. Upaya pemberantasan korupsi telah dimulai sejak awal berdirinya negara ini. Titik awal upaya tersebut dimulai pada tahun 1957 ketika diterbitkan Peraturan Penguasa Militer – Angkatan Darat dan Laut RI Nomor PRT/PM/06/1957, yang disempurnakan dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor PRT/PEPERPU/013/1958. Hal ini diterbitkan karena KUHP dianggap tidak mampu menanggulangi korupsi yang pada saat itu dianggap sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan rakyat. Selain masalah penindakan, ketentuan ini memungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik atas aset yang dimiliki seorang pejabat. Namun sejalan dengan dekrit presiden tahun 1959, pada tahun 1960 UU Keadaan Bahaya Nomor 74 tahun 1957 dicabut, dan secara otomatis peraturan-peraturan tersebut tidak berlaku lagi dan diganti dengan PERPU Nomor 24 Tahun 1960. Pasca dekrit, pemberantasan korupsi bukan menjadi isu lagi dalam penyelenggaraan negara.
Pada era orde baru, Presiden Soeharto mengawali upaya pemberantasan korupsi dengan membentuk Tim Pemberantasan Korupsi dengan Keppres Nomor 228 Tahun 1967. Tugas tim tersebut adalah membantu pemerintah dalam memberantas korupsi, yang dilakukan dengan cara pertama, Represif, yaitu dengan melakukan tindakan-tindakan hukum secara cepat dan tegas. Kedua, Preventif, yaitu dengan menyarankan kepada pemerintah tentang tindakan administratif dan tindakan lainnya yang harus diambil oleh pemerintah untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan timbulnya korupsi. Tim ini mempunyai fungsi memimpin, mengkoordinasikan dan mengawasi semua alat penegak hukum yang berwenang baik sipil maupun ABRI dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi.
Tim ini berhasil menangani tiga kasus besar saat itu yaitu kasus mantan Deputi Kapolri,Letjen Siswadji, kasus mantan Kepala DOLOG, Budiadji dan kasus pimpinan PT Djawa Building, Endang Widjaja. Namun demikian hasil kerja nyata tim yang bersifat preventif tersebut belum nampak.
Pada pertengahan dekade tahun 70an, Pemerintah kembali mengedepankan strategi represif yaitu dengan dibentuknya tim Operasi Penertiban (opstib). Hal ini untuk menangani pungutan liar yang saat itu sangat marak terjadi.
Pada tahun 1983, BPKP dibentuk sebagai instansi pengawasan intern pemerintah, BPKP juga melakukan berbagai hal dalam memberantas korupsi di Indonesia. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, BPKP tidak hanya menekankan pada pendekatan represif, namun membangun keseimbangan dengan upaya preventif. Selain melakukan audit khusus yang hasilnya diberikan kepada perangkat penegak hukum untuk diproses secara hukum, BPKP juga melakukan upaya-upaya perbaikan sistem dan prosedur yang dapat mencegah korupsi melalui koordinasi dengan pimpinan setiap instansi yang diaudit. Namun segala upaya tersebut menjadi bagian dari sistem yang tertutup dimana masyarakat luas tidak memiliki hak untuk melihat lebih jauh hasil pengawasan BPKP. Tidak mengherankan ketika muncul persepsi negatif dari berbagai pihak yang menilai seolah-olah saat itu (dekade 80 dan 90 an) tidak terjadi perbaikan yang signifikan dalam penanganan korupsi di Indonesia.
Pada tahun 1999, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menerbitkan sebuah dokumen kajian yang berjudul Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional edisi Maret 1999. Strategi dalam dokumen tersebut memiliki konsep yang lebih komprehensif serta langkah-langkah yang lebih konkrit jika dibandingkan sebelumnya. Pendekatan perumusan strategi terbagi dalam tiga kategori yaitu
Strategi Preventif, Strategi Detektif, dan Strategi Represif.
Strategi Preventif merupakan langkah pencegahan terjadinya korupsi antara lain meliputi kegiatan memperkuat DPR, MA dan Pengadilan; pembangunan kode etik di Sektor Publik, Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis; penyempurnaan manajemen SDM dan peningkatan gaji PNS; pengharusan penyusunan Perencanaan Strategis dan Laporan Akuntabilitas bagi instansi pemerintah; peningkatan kualitas Sistem Pengendalian Manajemen; penyempurnaan Manajemen Aktiva Tetap Milik Negara dan peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat.
Strategi Detektif merupakan langkah pengidentifikasian terjadinya korupsi antara lain melalui kegiatan penyempurnaan sistem pengaduan masyarakat; pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu; pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan; penggunaan Nomor Kependudukan Nasional dan peningkatan kemampuan APFP dalam mendeteksi Korupsi.
Sedangkan Strategi Represif merupakan langkah penindakan atas kasus-kasus korupsi yang terjadi meliputi kegiatan antara lain pembentukan Badan Anti Korupsi (KPK.Red); penyidikan, penuntutan, peradilan dan penghukuman beberapa koruptor besar; penentuan jenis dan kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas; pemberlakuan konsep pembuktian terbalik dan publikasi kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi.
Memasuki akhir dekade tahun 90an, era orde baru berakhir dan reformasi bergulir. Pemberantasan korupsi menjadi isu utama bergulirnya reformasi. Upaya pemberantasan korupsi meningkat pesat dan cenderung menjadi euforia. Berbagai peraturan diterbitkan dan penanganan kasus-kasus korupsi meningkat tajam. Dari aspek strategi, pemberantasan korupsi tidak hanya bersifat represif, namun ada peningkatan kemampuan mengidentifikasikan korupsi (strategi detektif).
Pada era reformasi ini, strategi yang tertuang dalam dokumen Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional 1999 menjadi acuan dalam penetapan langkah-langkah pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal tersebut tercermin dari terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, adanya kewajiban penyusunan Laporan Kekayaan pada pejabat publik, Penyempurnaan Sistem Pengaduan Masyarakat, Adanya kewajiban penyusunan Renstra dan LAKIP, penyempurnaan manajemen aset negara dan peningkatan kualitas pelayanan pada masyarakat. Namun demikian masih terdapat beberapa yang belum dilaksanakan hingga saat ini seperti halnya penggunaan nomor kependudukan nasional dan pemberlakuan konsep pembuktian terbalik. Pada 10 tahun pertama reformasi, timbul optimisme besar di masyarakat bahwa korupsi dapat segera enyah dari negara ini.
Pada tahun 2004 di awal pemerintahan SBY, Pemerintah menerbitkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi 2004 – 2009. Hal ini merupakan action plan dari komitmen Pemerintah SBY dalam pemberantasan korupsi. Dalam dokumen tersebut, terdapat empat langkah utama yaitu (1) Pencegahan Terjadinya Tindakan Korupsi, (2) Penindakan Perkara Korupsi, (3) Pencegahan dan Penindakan Korupsi dalam Rehabiltasi dan Rekonstruksi NAD dan Sumatra Utara, dan (4) Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Aksi.
Untuk langkah pencegahan, RAN tersebut mengedepankan tiga hal yaitu mendesain ulang pelayanan publik, memperkuat transparansi, pengawasan dan sangsi, serta meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi. Sedangkan langkah penindakan ditujukan pada (a) percepatan penanganan dan eksekusi perkara TPK pada 5 sektor prioritas, (b) peningkatan dukungan terhadap lembaga penegak hukum, (c) peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum, dan (d) pengembangan sistem pengawasan lembaga penegak hukum.
Secara umum konsep pemberantasan korupsi dalam RAN 2004-2009 tidak berbeda jauh dengan strategi sebelumnya. Perbedaan yang signifikan adalah adanya peningkatan monitoring dan evaluasi oleh masing-masing instansi atas kasus-kasus yang ada. Dengan monitoring dan evaluasi tersebut, diharapkan peran instansi dalam mencegah dan menindak korupsi yang terjadi di lingkungannya dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
Pada awal tahun 2009, optimisme yang timbul mulai berubah ketika memasuki dekade kedua era reformasi. Upaya detektif dan represif yang dikembangkan mulai mengalami stagnansi. Berbagai kasus justru melemahkan upaya tersebut seperti kasus Cicak-Buaya, kasus Antasari dan kasus Bibit - Chandra. Sedikit demi sedikit mulai timbul persepsi di masyarakat bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kembali melemah. Para pengamat mulai kembali pesimis dengan strategi pemberantasan korupsi yang telah ditempuh Pemerintah.
Memasuki Era Pencegahan
Mencermati perjalanan panjang kasus-kasus korupsi dan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia, kita layak merenung dan bertanya, strategi apa lagi yang harus dikembangkan agar korupsi dapat segera enyah dari bumi Indonesia ini. Mantan Wakil Ketua KPK, Amien Sunaryadi menyebutkan bahwa upaya pemberantasan korupsi “sudah baik tapi belum cukup”. Walaupun trend penanganan sudah meningkat, tapi belum cukup untuk memberantas korupsi sesuai harapan masyarakat.
Sebuah pembelajaran dari sejarah dan strategi pemberantasan korupsi sebagaimana terurai di atas, dapat disimpulkan bahwa membangun strategi pemberantasan korupsi memerlukan strategi yang komprehensif dan tepat serta melibatkan seluruh komponen bangsa dengan berbagai pendekatan yang ada. Belajar dari tahun 1957, 1967, 1977, dan terakhir 1999 – 2007, ternyata mengedepankan upaya pendekatan represif tidaklah cukup. Pendekatan ini memang menciptakan popularitas bagi penguasa dan dapat memberi efek jera bagi penyelenggara negara. Selain itu dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat pada Pemerintah. Namun perjalanan sejarah membuktikan bahwa pendekatan represif dan detektif tidaklah cukup ampuh untuk menciptakan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik. Pendekatan tersebut selalu diikuti oleh upaya perlawanan dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan kekuatan yang tidak kalah besarnya, hingga setiap terjadi trend peningkatan dalam upaya pemberantasan korupsi, selalu diikuti dengan trend menurun pada beberapa tahun berikutnya.
Untuk itu perlu dilakukan beberapa langkah yang efektif dalam mendorong upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, antara lain :
1. Memasuki Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu kedua (2009 – 2014) perlu disusun kembali Strategi Pemberantasan Korupsi yang efektif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Pengembangan strategi tidak hanya mengedepankan upaya represif, namun perlu mengedepankan juga upaya dengan pendekatan preventif dan pre emptive yang selama ini cenderung tidak diperhatikan.
2. Membangun manajemen pemerintahan yang dilengkapi early warning system sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya penyimpangan atau korupsi. Dinamika kehidupan yang selalu menciptakan perubahan pada semua aspek yang dapat membuka celah-celah terjadinya penyimpangan. Untuk itu kualitas sistem pengendalian harus senantiasa dijaga melalui monitoring oleh aparat pengawas intern pemerintah. Implementasi komponen-komponen SPIP sesuai PP Nomor 60 Tahun 2008 perlu dilaksanakan secara intensif pada setiap instansi pemerintah. Inovasi-inovasi baru perlu dikembangkan dalam mencegah korupsi seperti whistleblower system dalam internal instansi.
3. Menciptakan kondisi yang kondusif (pre emptive) dalam mencegah korupsi pada semua lapisan masyarakat. Bangsa Indonesia perlu membangun budaya anti korupsi pada setiap warga negaranya. Dalam setiap nafas kehidupan anak bangsa, sejak bangun di pagi hari hingga tidur di malam hari perlu ditanam dalam-dalam paradigma anti korupsi. Perilaku disiplin dan taat aturan serta anti korupsi perlu dibudayakan di keluarga atau di tingkat lingkungan RT/RW dan menjadi nilai sosial dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Untuk itu perlu dilakukan program-program sosialisasi tentang anti korupsi. Pada kurikulum pendidikan dari tingkat dasar, menengah hingga tinggi, perlu dimasukan nilai-nilai luhur anti korupsi. Dengan demikian pada setiap jiwa anak bangsa akan tertanam paradigma ‘malu’ untuk berbuat korupsi.
4. Evaluasi atas kasus-kasus yang tengah dan sudah diproses secara hukum (Represif untuk Preventif) harus dikedepankan sebagai upaya mencegah terulangnya kembali penyimpangan yang terjadi. Perbaikan sistem dan prosedur dalam pemberantasan korupsi melalui pendekatan ini akan berjalan efektif dalam menangani kasus-kasus yang bersifat current issues seperti kasus-kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah di Indonesia.
Bercermin dari sejarah, dalam memberantas korupsi saat ini kita harus masuk ke era pencegahan. Sebuah era baru yang membangun sistem dan prosedur serta kesadaran pada setiap komponen bangsa untuk mencegah terjadinya korupsi. Mencegah lebih baik dari pada Menindak ! **dari berbagai sumber**