Selasa, 10 Agustus 2010
Stigma tebang pilih dalam pemberantasan korupsi kian mengalami pembenaran psikologis
Budaya feodalisme dalam jajaran struktur politik dan birokrasi modern masih menjadi faktor penyubur korupsi. Mentalitas kepatuhan 'klien terhadap patron' telah bermetamorfosa pada ketertundukan pejabat publik terhadap kepentingan sponsor yang telah berjasa menempatkan mereka dalam posisi sekarang.
Apakah itu patron partai politik, cukong/konglomerat, dan lainnya, dalam praktik telah menjadi faktor kendala mental. Stigma tebang pilih dalam praktik pemberantasan korupsi, kian mengalami pembenaran psikologis. Utang budi politik dan finansial dalam praktik telah menjerat penegak hukum untuk menutup kasus-kasus korupsi dalam lingkaran patronase.
Dalam realitas budaya demikian, problem dan agenda percepatan reformasi peradilan justru menarik untuk dianalisis dalam perspektif konseptual dan operasional.
Secara konseptual, agenda ini perlu diletakkan dalam pemikiran negara demokrasi modern yang bersendi pada konsep masyarakat madani. Ada empat prinsip di dalamnya, yakni prinsip moral, keadilan, transparansi, dan demokrasi. Namun keempat prinsip ini memerlukan penormaan dalam konstitusi.
Jika kendala dan hambatan pemberantasan korupsi dan reformasi peradian selama ini terletak pada faktor patron klien dengan segala implikasinya di atas, maka ke depan diperlukan langkah konstitusional untuk memposisikan lembaga penegak hukum sepenuhnya bersifat independen dan terlepas dari wewenang presiden.
Polri dan kejaksaan juga harus diatur dalam konstitusi. Semua wewenang perlu diatur berdasarkan moralitas, keadilan, transparansi, dan demokratis. Publik diberi wewenang untuk melalui sistem keterwakilan, melakukan kontrol sosial, termasuk rekruitmen pejabat.
Maka, akan ada pengaturan rigid dengan sanksi tegas apabila pejabat penegak hukum terindikasi melakukan deponering kasus-kasus korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia.
Penegasan hak masyarakat sebagai subyek hukum utama pemberi kedaulatan kekuasaan pada negara, selama ini memang agak terabaikan. Produk legislasi dan kebijakan negara yang tidak transparan dalam pemberantasan korupsi maupun pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya energi selama ini menegaskan bahwa posisi negara jauh lebih kuat ketimbang masyarakat.
Akibatnya, pejabat negara tetap leluasa dalam menentukan langkah-langkahnya. Kondisi seperti inilah yang sebetulnya menjadi argumen bahwa demokrasi dan demokratisasi substansial belum berjalan dengan optimal.
Oleh karena itu, pemikiran konseptual perlu disertai langkah kongkret operasional secara simultan.
Hal ini karena berdasarkan sejarah, kekuatan besar kalangan bisnis terhadap terciptanya sistem dan struktur kekuasaan negara/pemerintah disebabkan oleh lincah/cerdiknya kekuatan lobi dalam melobi elit politik.
Mengingat praktik korupsi semakin sistemik, endemik, dan dibangun dengan sinergitas yang tinggi, maka tidak ada aternatif lain, yakni bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yusidial (KY) harus melakukan beberapa langkah.
Pertama, melakukan penguatan kelembagaan dengan mendorong presiden dan DPR untuk mempertegas sikap politiknya dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Revisi Undang-undang (UU) Komisi Yudisial.
Kedua, melakukan riset terhadap sejumlah faktor penghambat proses penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Ketiga, melakukan pelatihan investigator pada jejaring KY dalam program pelatihan investigasi KPK.
Keempat, KPK dan KY juga sudah membentuk tim ad hoc untuk mengusut kasus-kasus mafia peradilan. Dan terakhir, melakukan pelatihan terhadap model tata laksana peradilan yang transparan dan akuntabel terhadap jajaran peradilan oleh KPK, MA, dan KY.
Praktik penegakan hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim kini seperti panggung sandiwara hukum. Banyak tersangka atau terdakwa yang lolos dari jerat hukum. BAP, dakwaan, dan vonis menjadi komoditi bisnis terbuka di jajaran penegak hukum yang diperparah oleh kalangan black lawyer yang justru menjadi faktor perusak daripada sebagai penasihat hukum bagi kliennya.
Langkah-langkah pelibatan masyarakat madani karenanya mendesak dilakukan. Terutama dalam kerangka masyarakat madani yang menuntut adanya prinsip-prinsip moralitas dan transparansi tata laksana birokrasi, yang memberi peluang pada masyarakat untuk bisa mengakses proses-proses penegakan hukum.
Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya merubah paradigma berpikir lama yang tidak memiliki postulat moral yang berintikan pada kejujuran.
Dengan demikian, selain mengeliminasi pengaruh destruktif pola-pola patronase yang merusak aspek mentalitas, harus dibarengi pula dengan pelibatan penuh elemen masyarakat madani dalam agenda percepatan reformasi peradilan
#disadur dari Busro Muqoddas, Ketua Komisi Yudisial, Disarikan dari makalah yang disampaikan dalam Lokakarya Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial# **vivanews**
0 komentar:
Posting Komentar