Jumat, 27 Agustus 2010
"Banyak kasus mafia hukum yang diduga melibatkan jaksa ataupun polisi."
Penolakan terhadap calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari unsur kejaksaan dan kepolisian, semakin meluas.
Dari 11 kriteria yang ditetapkannya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak supaya calon pemimpin KPK yang diloloskan bukanlah yang berasal dari polisi dan jaksa. Alasan ICW, calon dari kedua unsur tersebut tidak mungkin mengungkap kasus korupsi dan mafia hukum yang kini banyak melibatkan polisi dan jaksa.
Seperti halnya ICW, Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) juga menolak calon pemimpin KPK dari unsur kepolisian dan kejaksaan. "Sebelum ada reformasi total pada kedua lembaga itu, maka susah untuk mempercayai bahwa orang yang dibesarkan kedua lembaga itu akan mampu memimpin KPK dan memberantas korupsi," demikian dinyatakan Ketua Umum PB HMI M. Chozin Amirullah.
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII) Teten Masduki juga mengamininya. "KPK dibentuk lantaran kepolisian dan kejaksaan tidak mampu memberantas korupsi. Masa pimpinannya saat ini berasal dari dua institusi yang dinilai telah gagal memberantas korupsi," kata Teten.
Selain itu, Teten menilai kehadiran unsur polisi dan jaksa dapat mengganggu indepedensi KPK. "Saat ini banyak kasus mafia hukum yang diduga melibatkan jaksa ataupun polisi, jika mereka masuk bagaimana KPK dapat mengusut mafia di dua institusi tersebut," ujarnya.
Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan KPK, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, menegaskan bahwa tidak ada calon titipan dalam seleksi. Menurut Patrialis, seluruh proses seleksi dilakukan secara terbuka dan tak ada niat Pansel memenangkan calon dari institusi tertentu.
"Pansel transparan dalam melakukan rekrutmen, jadi tidak mungkin ada rekayasa untuk menggolkan seseorang," kata Patrialis. Ia menjelaskan, rekrutmen calon pimpinan KPK dilakukan oleh 11 anggota yang berasal dari berbagai macam latar belakang. Unsur pemerintah hanya diwakili oleh dirinya dan Ahmad Ubbe.
***
Sesuai Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2010, Panitia Seleksi Anggota KPK ditugasi menggenapi jumlah komisioner KPK kembali menjadi lima orang. Mereka mencari pengganti Antasari Azhar yang diberhentikan dari jabatan Ketua KPK karena terbukti melakukan pembunuhan berencana. Antasari adalah seorang jaksa.
Seleksi telah memasuki tahap akhir. Dari semula ada 153 calon, kini sudah disaring tinggal tujuh kandidat saja. Mereka adalah: mantan Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Sutan Bagindo Fahmi, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Irjen Pol. (purn) Chaerul Rasjid, advokat Melli Darsa, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, Ketua Kaukus Antikorupsi DPD RI I Wayan Sudirta, dan advokat serta mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Bambang Widjojanto.
Calon dari unsur kejaksaan, Sutan Bagindo Fahmi, lahir di Pariaman, Sumatera Barat, 13 September 1951. Dia terakhir menjabat sebagai Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung. Menurut penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW), Fahmi pernah menangani sejumlah kasus korupsi kontroversial berskala besar, seperti kasus ruislag (tukar guling) antara Bulog dengan PT. Goro Batara Sakti dengan terdakwa Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, Beddu Amang, dan Ricardo Gelael.
Selain menangani kasus ruislag Bulog, Fahmi juga menangani kasus dana non-bujeter Bulog dengan terdakwa Akbar Tandjung; kasus Technical Assisten Contract, dengan terdakwa Ginandjar Kartasasmita, IB Sudjana; serta kasus korupsi dan pembalakan liar Adelin Lis di Medan. Di pengadilan, Adelin sempat dibebaskan.
Salah seorang anggota majelis eksaminasi yang merupakan mantan Jaksa, M.H. Silaban dalam legal anotasinya menyatakan, vonis itu diakibatkan dakwaan jaksa yang tidak jelas, alat bukti tidak akurat, dan keterangan yang sudah dicabut di persidangan ternyata masih digunakan di berkas tuntutan pidana.
Adapun calon dari korps Bhayangkara, adalah Irjen Pol. (purn) Chaerul Rasjid. Dia lahir di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, 17 Januari 1949, dan masuk Akabri tahun 1972.
Saat ini masih menempuh program studi doktoral di Universitas Diponegoro, Semarang.
Chaerul tercatat pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah di sejumlah provinsi: Kalimantan Barat (2001-2002), Aceh (2001-2002), dan Jawa Tengah (2004-2006).
Menurut penelusuran ICW, Chaerul tercatat pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Tengah pada tahun 2008 dan memberikan dukungan terhadap pencalonan Wiranto-Jusuf Kalla sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Umum 2009.
KPK mencatat, per tahun 1999 Chaerul memiliki kekayaan total senilai Rp1,4 miliar. Harta terbesarnya adalah tanah seluas 875 meter persegi di Jakarta Selatan senilai Rp1,18 miliar.
***
Baik Fahmi sendiri maupun Juru Bicara Kejaksaan Agung Babul Khoir Harahap menegaskan Fahmi bukanlah calon titipan kejaksaan. Soal penolakan terhadap dirinya, Fahmi menyerahkan sepenuhnya kepada Pansel KPK. "Kalau ICW berpandangan seperti itu, ya silakan. Itu hak mereka," katanya.
Mengenai rekam jejak Fahmi yang kini jadi sorotan, Babul membelanya. "Jangan samakan Pak Antasari dengan Pak Fahmi," katanya. Menurut Babul, sanksi disiplin yang pernah diterima Fahmi terkait bebasnya terdakwa kasus pembalakan hutan, Adelin Lis, sudah dicabut. "Dia kasasinya menang makanya namanya dipulihkan," kata Babul **vivanews**
Dari 11 kriteria yang ditetapkannya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak supaya calon pemimpin KPK yang diloloskan bukanlah yang berasal dari polisi dan jaksa. Alasan ICW, calon dari kedua unsur tersebut tidak mungkin mengungkap kasus korupsi dan mafia hukum yang kini banyak melibatkan polisi dan jaksa.
Seperti halnya ICW, Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) juga menolak calon pemimpin KPK dari unsur kepolisian dan kejaksaan. "Sebelum ada reformasi total pada kedua lembaga itu, maka susah untuk mempercayai bahwa orang yang dibesarkan kedua lembaga itu akan mampu memimpin KPK dan memberantas korupsi," demikian dinyatakan Ketua Umum PB HMI M. Chozin Amirullah.
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII) Teten Masduki juga mengamininya. "KPK dibentuk lantaran kepolisian dan kejaksaan tidak mampu memberantas korupsi. Masa pimpinannya saat ini berasal dari dua institusi yang dinilai telah gagal memberantas korupsi," kata Teten.
Selain itu, Teten menilai kehadiran unsur polisi dan jaksa dapat mengganggu indepedensi KPK. "Saat ini banyak kasus mafia hukum yang diduga melibatkan jaksa ataupun polisi, jika mereka masuk bagaimana KPK dapat mengusut mafia di dua institusi tersebut," ujarnya.
Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan KPK, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, menegaskan bahwa tidak ada calon titipan dalam seleksi. Menurut Patrialis, seluruh proses seleksi dilakukan secara terbuka dan tak ada niat Pansel memenangkan calon dari institusi tertentu.
"Pansel transparan dalam melakukan rekrutmen, jadi tidak mungkin ada rekayasa untuk menggolkan seseorang," kata Patrialis. Ia menjelaskan, rekrutmen calon pimpinan KPK dilakukan oleh 11 anggota yang berasal dari berbagai macam latar belakang. Unsur pemerintah hanya diwakili oleh dirinya dan Ahmad Ubbe.
***
Sesuai Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2010, Panitia Seleksi Anggota KPK ditugasi menggenapi jumlah komisioner KPK kembali menjadi lima orang. Mereka mencari pengganti Antasari Azhar yang diberhentikan dari jabatan Ketua KPK karena terbukti melakukan pembunuhan berencana. Antasari adalah seorang jaksa.
Seleksi telah memasuki tahap akhir. Dari semula ada 153 calon, kini sudah disaring tinggal tujuh kandidat saja. Mereka adalah: mantan Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Sutan Bagindo Fahmi, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Irjen Pol. (purn) Chaerul Rasjid, advokat Melli Darsa, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, Ketua Kaukus Antikorupsi DPD RI I Wayan Sudirta, dan advokat serta mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Bambang Widjojanto.
Calon dari unsur kejaksaan, Sutan Bagindo Fahmi, lahir di Pariaman, Sumatera Barat, 13 September 1951. Dia terakhir menjabat sebagai Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung. Menurut penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW), Fahmi pernah menangani sejumlah kasus korupsi kontroversial berskala besar, seperti kasus ruislag (tukar guling) antara Bulog dengan PT. Goro Batara Sakti dengan terdakwa Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, Beddu Amang, dan Ricardo Gelael.
Selain menangani kasus ruislag Bulog, Fahmi juga menangani kasus dana non-bujeter Bulog dengan terdakwa Akbar Tandjung; kasus Technical Assisten Contract, dengan terdakwa Ginandjar Kartasasmita, IB Sudjana; serta kasus korupsi dan pembalakan liar Adelin Lis di Medan. Di pengadilan, Adelin sempat dibebaskan.
Salah seorang anggota majelis eksaminasi yang merupakan mantan Jaksa, M.H. Silaban dalam legal anotasinya menyatakan, vonis itu diakibatkan dakwaan jaksa yang tidak jelas, alat bukti tidak akurat, dan keterangan yang sudah dicabut di persidangan ternyata masih digunakan di berkas tuntutan pidana.
Adapun calon dari korps Bhayangkara, adalah Irjen Pol. (purn) Chaerul Rasjid. Dia lahir di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, 17 Januari 1949, dan masuk Akabri tahun 1972.
Saat ini masih menempuh program studi doktoral di Universitas Diponegoro, Semarang.
Chaerul tercatat pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah di sejumlah provinsi: Kalimantan Barat (2001-2002), Aceh (2001-2002), dan Jawa Tengah (2004-2006).
Menurut penelusuran ICW, Chaerul tercatat pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Tengah pada tahun 2008 dan memberikan dukungan terhadap pencalonan Wiranto-Jusuf Kalla sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Umum 2009.
KPK mencatat, per tahun 1999 Chaerul memiliki kekayaan total senilai Rp1,4 miliar. Harta terbesarnya adalah tanah seluas 875 meter persegi di Jakarta Selatan senilai Rp1,18 miliar.
***
Baik Fahmi sendiri maupun Juru Bicara Kejaksaan Agung Babul Khoir Harahap menegaskan Fahmi bukanlah calon titipan kejaksaan. Soal penolakan terhadap dirinya, Fahmi menyerahkan sepenuhnya kepada Pansel KPK. "Kalau ICW berpandangan seperti itu, ya silakan. Itu hak mereka," katanya.
Mengenai rekam jejak Fahmi yang kini jadi sorotan, Babul membelanya. "Jangan samakan Pak Antasari dengan Pak Fahmi," katanya. Menurut Babul, sanksi disiplin yang pernah diterima Fahmi terkait bebasnya terdakwa kasus pembalakan hutan, Adelin Lis, sudah dicabut. "Dia kasasinya menang makanya namanya dipulihkan," kata Babul **vivanews**