RSS Feed
TOP

Suap: Korupsi Tanpa Akhir

Selasa, 10 Agustus 2010.
Perang melawan suap di Indonesia sudah terjadi sejak masa pemerintahan Hindia Belanda.

Gebrakan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengungkap kasus-kasus suap yang melibatkan para penyelenggara negara memberikan atmosfer baru dalam gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Terlebih lagi, KPK menerapkan metode yang relatif jarang dipakai pada masa lalu, yaitu penyadapan, untuk mengungkap sejumlah kasus suap.

Karena itulah, terungkapnya kasus-kasus suap tersebut, seperti membangkitkan kembali pasal-pasal suap dalam aturan perundang-undangan terkait tindak pidana korupsi yang selama ini seringkali dipersepsikan sebagai ‘pasal tidur.’ Apalagi, selama ini banyak kalangan masih berpikiran bahwa yang disebut korupsi itu hanya yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara.

Hingga Februari 2009, KPK telah mengungkap kasus-kasus suap yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial (KY), Kejaksaan Agung (Kejagung), Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Mahkamah Agung (MA), Bank Indonesia (BI), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah Daerah, bahkan di tubuh KPK sendiri dengan terungkapnya kasus penerimaan suap oleh penyidik KPK AKP Suparman pada tahun 2006.

Penerapan pasal suap seperti tercantum dalam Pasal 5 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun semakin sering dipakai oleh KPK untuk menjerat para pihak yang terlibat. Hal ini merupakan fenomena baru dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasalnya, secara historis, penerapan pasal-pasal suap dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak mencapai 0,1 persen dari total perkara korupsi yang ditangani oleh penegak hukum.

Keberadaan pasal-pasal suap yang diadopsi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP ke dalam Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selama ini hanya menjadi pasal tidur yang tidak memiliki makna. Atas dasar studi penelitian tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dari keseluruhan delik-delik korupsi yang bersifat multinormatif itu, mulai dari delik penyalahgunaan kewenangan, delik materiele wederrechtelijk, delik penggelapan, hanya delik suap yang sangat sulit pembuktiannya.

Atas dasar tersebut di atas, selama ini pasal-pasal suap yang tercantum dalam aturan perundang-undangan terkait tindak pidana korupsi di Indonesia, seperti macan ompong yang tak memiliki daya tangkal sama sekali. Bahkan, delik-delik suap tersebut tidak dapat mengikuti gerak dinamika perilaku aparat penegak hukum agar terhindar dari jebakan pasal suap tersebut.

Kendati demikian persoalan yang muncul adalah tidak hanya berkaitan dengan fakta telah diterapkannya pasal-pasal suap dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ketika menjerat pelaku yang terlibat suap-menyuap, tetapi terkait juga dengan pemidanaan terhadap para terdakwa dalam kasus suap di pengadilan. Para terdakwa yang diadili di pengadilan karena kasus suap mendapatkan vonis pidana yang besarnya berbeda-beda.

Dari pihak non-penyelenggara negara yang divonis oleh pengadilan melakukan suap kepada penyelenggara negara, Artalyta Suryani mendapatkan vonis maksimal sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni pidana penjara selama lima tahun dan denda sebesar Rp 250 juta rupiah. Sementara dari pihak penyelenggara negara yang terbukti menerima suap, adalah Komisioner Komisi Yudisial (KY) Irawady Joenoes yang divonis terberat yaitu pidana penjara selama delapan tahun dan denda Rp 400 juta. Namun, pasal yang dijeratkan kepada Irawady Joenoes bukanlah Pasal 5, melainkan Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang terkait dengan delik gratifikasi.

Meskipun divonis maksimal sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, vonis terhadap Artalyta itu menuai kecaman dari berbagai pihak. Vonis tersebut dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Terlebih lagi, kasus suap tersebut melibatkan aparat penegak hukum . Kendati dinilai tidak memenuhi rasa keadilan, masyarakat tidak dapat berbuat banyak karena masyarakat tidak memiliki kewenangan soal vonis tersebut.

Makna Suap
Secara harafiah, kata suap (bribe) bermula dari asal kata briberie (istilah Perancis), yang artinya adalah begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Namun, perkembangan kemudian, bribe bermakna sedekah (alms), blackmail, atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup) .

Suap-menyuap dan penggelapan dana-dana publik (embezzlement of public funds), seringkali dikategorikan sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Korupsi, dalam tinjauan yang lebih umum, diartikan sebagai bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu perusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles ).

Tindakan suap diasumsikan sebagai keputusan independen dan rasional yang dibuat oleh agen individual (a decisions independently and rationally made by individual agents). Keputusan agen individual itu didasarkan atas analisis keuntungan dengan tujuan untuk mendapatkan atau memaksimalkan keuntungan atau kegunaan personal.

Secara filosofis, perbuatan suap merupakan mala per se atau mala in se dan bukan mala prohibitia. Konsep mala per se dilandasi oleh pemikiran natural wrongs yang menganggap bahwa kejahatan-kejahatan tertentu merupakan kejahatan yang berkaitan dengan hati nurani dan dianggap tercela bukan karena peraturan perundang-undangan telah melarangnya, melainkan memang sudah dengan sendirinya salah. Sedangkan konsep mala prohibitia bertitik tolak dari pemikiran bahwa perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan telah melarangnya, sehingga disebut sebagai regulatory offenses.

Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuapan selalu mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi (influencing) agar yang disuap berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

Bahkan, kasus penyuapan yang melibatkan saksi di pengadilan tergolong tindak pidana berat, sebab ia tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana suap sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga berkaitan dengan asas peradilan yang jujur dan tindak pidana berupa gangguan terhadap proses memperoleh keadilan yang juga masuk kategori transnational organized crimes (Palermo Convention, 2000). Lebih jauh lagi termasuk kategori kejahatan melawan administrasi peradilan.

Karena itulah, kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi, termasuk di dalamnya suap-menyuap, mempunyai alasan yang sangat kuat, sebab kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena karakter korupsinya yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan).

Kultur Upeti
Di Indonesia, suap-menyuap merupakan hal yang ada dalam sejarah bangsa. Ong Hok Ham (2004) mengaitkan antara tindakan korupsi, termasuk di dalamnya suap, dengan konsep negara pejabat, yang diistilahkan sebagai negara pejabat. Dalam kosa kata bahasa Indonesia, istilah suap bisa ditarik akar budayanya dalam praktek pemberian upeti.

Istilah upeti berasal dari kata utpatti, yang dalam bahasa Sansekerta kurang lebih berarti bukti kesetiaan. Upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk. Dalam budaya birokrasi di Indonesia ketika kebanyakan pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda, upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisme. Para adipati memberikan persembahan kepada raja penakluk. Sebagai imbalannya, raja penakluk memberikan perlindungan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh para adipati tersebut .

Heather Sutherland dalam The Making of A Bureaucratic Elite (1979) menggambarkan betapa sistem upeti yang berlangsung selama berabad-abad itu tetap menjadi pola transfer kekuasaan antara rakyat dan penguasa ketika para birokrat di Indonesia sudah harus bekerja dengan sistem administrasi modern. Alhasil, pola patron-client di mana upeti merupakan alat tukar kekuasaan dianggap sebagai standar yang wajar di antara para birokrat modern atau pamong praja di Indonesia. Karena sudah mengakar dalam budaya birokrasi, maka suap atau yang dipahami oleh masyarakat sebagai upeti, sangat sulit diberantas.

Ada dua hal pokok yang membuat budaya upeti lestari di Indonesia. Pertama, sistem administrasi yang memungkinkan pertukaran antara jabatan resmi dan imbalan material. Kedua, kekeliruan persepsi masyarakat tentang makna upeti dan gratifikasi. Arnold Laswell dan Harold Rogow (1963) dalam Power, Corruption, and Rectitude menguraikan bahwa suap terjadi karena tatanan politik yang ada membuka peluang lebar bagi adanya jual-beli jabatan publik. Bahwa mereka yang memiliki uang atau modal besar dapat menguasai jabatan penting. Maka terjadilah apa yang disebut venal office, yaitu bahwa kekuasaan bisa dimiliki bukan karena integritas atau kepemimpinan seseorang melainkan karena memiliki dana besar untuk kampanye, memiliki modal untuk membeli perusahaan publik, dan untuk membeli suara pemilih. Terlebih lagi situasi ini diperparah oleh budaya dan persepsi masyarakat bahwa imbalan material yang tidak resmi adalah sesuatu yang sah dan wajar .

Perang melawan suap di Indonesia sudah terjadi sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Salah satu wujudnya adalah pencantuman pasal-pasal terkait suap dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dirujuk dari hukum pidana masa penjajahan. Namun, yang perlu digarisbawahi, suap bukan merupakan hal yang hanya terjadi pada negara miskin dan berkembang, melainkan juga di negara maju. Suap pun tidak hanya terjadi di sektor pemerintahan atau publik, tetapi juga di sektor swasta dan korporasi yang melibatkan antarperusahaan atau antara perusahaan dan pejabat publik.

Hanya saja bedanya suap di negara maju lebih mampu diminimalkan jumlah dan dampaknya. Aturan dan sanksi yang jelas dan tegas, baik sanksi hukum maupun sosial, membuat banyak pelaku suap termasuk yang kelas kakap, mampu dijerat hukum. Namun di Indonesia, hal itu sepertinya belum berlaku. Padahal hukum dan aturan yang melarang suap tersedia sejak Indonesia merdeka.

Disadur dan disarikan dari Agustinus Edy Kristianto **vivanews**

0 komentar:

Posting Komentar

Peta Google

Related Posts with Thumbnails