RSS Feed
TOP

Remunerasi TNI-Polri Akhirnya Turun

Jum'at, 17 Desember 2010

Para prajurit TNI dan Polri bisa bernapas lega. Setelah tertunda sekian bulan, remunerasi enam lembaga termasuk di dalamnya dua institusi pertahanan dan keamanan tersebut, akhirnya disetujui DPR. Total anggaran penyesuain gaji yang disepakati sebesar Rp 5,6 triliun per enam bulan.

Remunerasi itu efektif terhitung sejak Juli 2010 untuk sekitar 887.754 orang. Selain prajurit TNI dan Polri, pegawai golongan bawah di empat lembaga lainnya juga mendapat remunerasi yang sama. Yaitu, Kementrian Pertahanan, Kementrian Koordinator Kesra, Kementrian Koordinator Polhukam, serta Kementrian PAN dan Reformasi Birokrasi.

TNI mendapatkan anggaran remunerasi terbesar, yaitu sekitar Rp 3,3 triliun. Disusul, Polri sebesar Rp 1,9 triliun, Kemenhan Rp 36 miliar, Kemen PAN dan Reformasi Birokrasi Rp 6,9 miliar, dan Kemenkopolhukam Rp 6,7 miliar. Terakhir, remunerasi untuk Kemenkokesra Rp 5,8 miliar.

Mekanisme pemberiannya akan dilakukan dengan cara dirapel hingga enam bulan terakhir. "Saya yakin nantinya akan ada peningkatan kinerja ke depan," kata Menko Kesra Agung Laksono, usai rapat koordinasi pimpinan DPR dan Komisi bersama sejumlah menteri, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (15/12).

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menambahkan, total kenaikan gaji rata-rata di enam instansi yang mendapat remunerasi nantinya adalah Rp 1 juta per orang. Atau, sekitar 40 persen untuk enam kementerian yang dinilai layak melakukan reformasi. "Tapi, tentunya pangkat yang lebih rendah nanti akan mendapat lebih tinggi," kata Purnomo, di tempat yang sama.

Dia menyatakan, rencananya remunerasi tersebut akan cair pada tahun ini. Sebab, proses setelah disepakati DPR adalah tinggal menunggu keppresnya. "Saya kira beberapa hari selesai. Tahun ini akan cair karena tinggal satu langkah lagi dan keppres sudah disiapkan. Tinggal persetujuan, jalan," ujarnya, bersemangat.

Menurut Purnomo, uang remunerasi tersebut berbeda dengan tunjangan khusus bagi prajurit yang bertugas di perbatasan. Tunjangan khusus tersebut saat ini sudah mulai berjalan. "Ini beda lagi, yang tunjangan khusus sudah berjalan," jelas mantan menteri ESDM tersebut.

Sebelum diketok DPR, dalam rapat yang dihadiri pimpinan DPR, pimpinan komisi I, II, dan III tersebut, ada beberapa catatan dari pihak dewan. Terutama, permintaan agar lembaga-lembaga yang mendapat remunerasi bisa memperbaiki kinerjanya masing-masing.

"Ini merupkan bentuk penghargaan, terutama kepada prajurit TNI dan Polri yang selama ini bertugas di lapangan," kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.

Menurut dia, uang remunerasi itu terutama akan diberikan kepada para prajurit dan pegawai yang berada di golongan bawah. "Remunerasi tidak berlaku untuk para pejabat-pejabatnya," tandas politisi Partai Golkar tersebut.

Pemberian remunerasi tersebut utamanya memang untuk merangsang peningkatkan kinerja para prajurit dan pegawai yang ada. "Nanti dari kinerjanya tersebut akan kembali menentukan besarnya remunerasi ke depannya, apakah itu bisa ditambah, tetap sama, berkurang, atau justru tidak mendapatkan lagi sama sekali," pungkas Priyo. **jpnn.com**

TOP

GRATIFIKASI

Selasa, 14 Desember 2010

Praktik korupsi pada masa sekarang mengalami perkembangan dengan munculnya praktikpraktik baru yang berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan berbagai peraturan perundangundangan yang ada. Pemberian hadiah seringkali kita anggap hanyalah sebagai suatu ucapan terima kasih atau ucapan selamat kepada seorang pejabat. Tapi bagaimana jika pemberian itu berasal dari seseorang yang memiliki kepentingan terhadap keputusan atau kebijakan pejabat tersebut?, dan bagaimana jika nilai dari pemberian hadiah tersebut diatas nilai kewajaran? Apakah pemberian hadiah tersebut tidak akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitas dalam pengambilan keputusan atau kebijakan, sehingga dapat menguntungkan pihak lain atau diri sendiri?

Pemberian hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindakan seseorang yang memberikan sesuatu (uang atau benda) kepada orang lain tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun jika pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian itu tidak hanya sekedar ucapan selamat atau tanda terima kasih, akan tetapi sebagai suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya, adalah sebagai suatu tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam pengertian gratifikasi.
Berkaitan dengan gratifikasi sebagai pertanyaan mengenai pemberian hadiah atau tanda terima kasih atau cendera mata yang diterima oleh seorang pejabat atau pegawai negeri sipil, misalnya seorang auditor/pemeriksa menerima hadiah sebagai tanda terima kasih ataupun pemberian fasilitas lainnya dari auditee, apakah hal itu dapat dibenarkan? Untuk menjaga kredibilitas seorang auditor/pemeriksa, perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan gratifikasi? Dan apa yang menjadi dasar dari penggolongan suatu pemberian dikategorikan sebagai gratifikasi atau tidak?

Pertanyaan-pertanyaan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”.

Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik seseorang memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya pamrih. Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan birokrat dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi pejabat birokrat dalam menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan publik, bahkan di kalangan privat pun larangan juga diberikan, contoh pimpinan stasiun televisi swasta melarang dengan tegas reporter atau wartawannya menerima uang atau barang dalam bentuk apa pun dari siapapun dalam menjalankan tugas pemberitaan. Oleh karena itu gratifikasi harus dilarang bagi birokrat dengan disertai sanksi yang berat (denda uang atau pidana kurungan atau penjara) bagi yang melanggar dan harus dikenakan kepada kedua pihak (pemberi dan penerima).

Gratifikasi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Dalam Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”. Apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima suatu pemberian, maka ia mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada KPK sebagaimana diatur menurut Pasal 12 C UU No 20 Tahun 2001, yaitu : 1. Ketentuan pada Pasal 12 B ayat (1) mengenai gratifikasi dianggap sebagai pemberian suap dan tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK;
2. Laporan penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi diterima;
3. Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan laporan, KPK
wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara;
4. Tata cara penyampaian laporan dan penentuan status gratifikasi diatur menurut Undang-undang tentang KPK.

Contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi,antara lain :
• Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu;
• Hadiah atau sumbangan dari rekanan yang diterima pejabat pada saat perkawinan anaknya;
• Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya untuk keperluan
pribadi secara cuma-cuma;
• Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk pembelian barang atau jasa dari rekanan;
• Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat/pegawai negeri;
• Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan;
• Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat/pegawai negeri pada saat kunjungan kerja;
• Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat/pegawai negeri pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.

Berdasarkan contoh diatas, maka pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi adalah pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau kedinasan dan/atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat/pegawai negeri dengan sipemberi. Sanksi pidana yang menerima gratifikasi dapat dijatuhkan bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang :
1. menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;
2. menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
3. menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
4. dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
5. pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
6. pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;
7. pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan; atau
8. baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka auditor/pemeriksa pada Pelaksana BPK sebagai Pegawai Negeri Sipil, secara tegas dan jelas tidak dibenarkan menerima pemberian dari auditee dalam bentuk apapun termasuk tiket perjalanan, fasilitas penginapan, dan fasilitas lainnya karena hal tersebut termasuk sebagai pemberian suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001. Selain itu, secara internal dengan diundangkannya Peraturan BPK No. 2 Tahun 2007 pada tanggal 22 Agustus 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, untuk menjamin integritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Anggota BPK dan seluruh auditor/pemeriksa BPK dilarang menerima pemberian dalam bentuk apapun baik langsung maupun tidak langsung yang diduga atau patut diduga dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas dan wewenangnya (Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) huruf a Peraturan BPK No. 2 Tahun 2007).

Sumber:
1. Black Law Dictionary;
2. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3. Peraturan BPK No. 2 Tahun 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia;
4. Wikipedia Indonesia
.

TOP

KORUPSI PROYEK MENDOMINASI

Jum'at, 10 Desember 2010

Dari banyakanya kasus yang terungkap, 80 persen di antaranya dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Peluang kolusi dan korupsi terjadi saat penunjukan langsung dan proses tender. Asisiten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejatisu Erbindo Saragih mengatakan, sepanjang 2010, dugaan korupsi pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di Sumut mendominasi. Penyidikan 141 perkara, sebanyak 120 dalam tahap penuntutan ke PN terkait dengan pengadaan barang dan jasa.

Ini terjadi pada SKPD dan BUMN,” kata Erbindo didampingi Aspidum Warsa Susanta, Aswas Nulis Sembiring, Asdatun Tarmizi, Asintel Andar Perdana, Asbin Mangiring Siahaan dan Kasipenkum Edi Irsan kepada wartawan saat menggelar temu pers memperingati hari antikorupsi.


Erbindo mencontohkan, kasus di BUMN yakni PT Pelindo I Medan pada pengadaan asuransi kesehatan untuk karyawan Pelindo I Medan, kerja sama PT Pelindo I Medan dengan PT Asuransi BRIngin Life tahun 2007 senilai Rp 6,4 Miliar.


Dalam kasus ini dua terdakwa yakni mantan Kacab PT Asuransi BRIngin Life Cabang Medan Drs Sujadi dan Mantan Manager senior SDM Pelindo I Medan, Bambang Rudhianto SH MM sebagai penanggung jawab program telah divonis bersalah.


Dalam kesempatan itu, lanjutnya, hingga November pihaknya berupaya menyelamatkan Rp 64,1 miliar negara kerugian. Namun, masih Rp 1,1 miliar yang sudah dikembalikan koruptor.Sebanyak Rp 39 miliar diganti dengan hukuman kurungan badan. Sedangkan Rp 21, 2 miliar berkekuatan hukum tetap.

Sementara, Kejaksan Negeri (Kejari) Medan menyebutkan, sepanjang tahun 2010 telah melimpahkan 18 perkara korupsi ke Pengadilan Negeri (PN) Medan.Kajari Medan Raja Nafriza SH mengatakan, kedelapan belas perkara korupsi yang telah dilimpahkan ke PN Medan itu terdiri dari penyidikan Kejari Medan, pelimpahan dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

“Kita telah menangani 11 perkara korupsi sepanjang tahun 2010 dari 10 perkara yang ditargetkan,” kata Raja Nafriza didampingi Kasipidsus Dharma Bella Timbaz kepada wartawan di ruang kerjanya, Kamis (9/12). Raja Nafriza SH menambahkan upaya pengembalian kerugian negera sebesar Rp 11 miliar belum terpenuhi sepenuhnya karena belum berkekuatan hukum tetap.**harian-global.com**

TOP

Penanganan Korupsi : Memasuki Era Pencegahan

“Korupsi.. korupsi…dan.. korupsi..” itulah coreng moreng wajah Indonesia di mata dunia. Sejak era penjajahan Belanda, era kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga era reformasi, virus korupsi telah menggerogoti tubuh bangsa tercinta ini. Bagai hama penyakit yang ‘tidak ada matinya’, korupsi telah membuat langkah pembangunan bangsa menjadi lemah dan terseok-seok. Sangat menarik meninjau kembali sejarah kasus-kasus korupsi selama itu. Semakin menarik jika kita kaitkan dengan strategi yang dibangun pemerintah untuk menanganinya. Dengan demikian kita mendapat sebuah pembelajaran yang tepat, bagaimana strategi ke depan yang lebih efektif.

Riwayat Korupsi di Indonesia

Riwayat korupsi di Indonesia amatlah panjang. Pada tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) runtuh lantaran korupsi. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada paruh kedua abad 18 VOC digerogoti oleh korupsi yang akut. Pada tanggal 12 Desember 1642 Gubernur Jendral Antonio Van Diemen menyurati Heeren XVII tentang parahnya korupsi yang terjadi di tubuh VOC. Berbagai upaya untuk memberantas korupsi di dalam tubuh asosiasi dagang ini tak berhasil. Konon penyebab utamanya adalah kecilnya gaji yang diterima oleh para pegawai VOC. Dengan alasan gaji yang kecil, pada saat itu para pejabat VOC banyak yang melakukan kerjasama dagang dengan para pedagang Portugis, India, atau Perancis. Bahkan praktek tersebut dikerjakan sebagai prioritas ketimbang kerja untuk VOC sendiri. Tak jarang mereka memanfaatkan kapal VOC untuk mengangkut barang yang bukan diperuntukkan bagi VOC sendiri. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan di London pada tahun 1743, “A Description of Holland, or the Present State of the United Provinces,” dilaporkan banyak kapal VOC yang karam akibat kelebihan muatan.

Persoalan korupsi ini tidak tuntas tatkala VOC digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sistem birokrasi Hindia Belanda yang mengenal dua sistem, Bestuurs Beambten (BB) dan Pangreh Praja, memicu tindakan korupsi dalam bentuk yang lain. Pada masa Tanam Paksa, 1830-1870, penduduk pribumi diwajibkan untuk menanam beberapa jenis tanaman yang laku di pasar-pasar Eropa. Menurut peraturan petani diharuskan untuk menanami 1/3 bagian dari tanahnya bagi tanaman wajib tersebut. Umumnya tanaman tersebut berusia tahunan seperti kopi, teh, atau nila. Berdasarkan peraturan, para petani harus mengubah 1/3 bagian dari sawah-sawah produktif mereka untuk tanaman tersebut dan meluangkan 1/3 waktu mereka untuk mengawasinya.

Akan tetapi dalam prakteknya, kepala desa, demang, wedana, atau bupati yang bertanggung jawab atas tanam paksa tersebut justru memaksa para petani untuk menanami 2/3 bagian dari tanahnya untuk tanaman wajib. Keuntungan yang didapat sudah barang tentu masuk dalam kantung pribadi para pejabat tersebut. Sementara itu residen-residen dan pengawas (controluer) Hindia Belanda mendiamkan saja praktek tersebut karena mendapat bagian yang tidak sedikit. Taklah heran bila pada masa Tanam Paksa wabah penyakit dan kelaparan melanda penduduk pedesaan, terutama di Pulau Jawa, karena di dalam prakteknya mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengawasi tanaman tahunan yang diwajibkan dan tak memiliki waktu lagi untuk sawah-sawah mereka. Belum lagi 1/3 bagian yang dapat mereka tanami untuk padi, tak mencukupi kebutuhan keluarga mereka dalam setahun.

Situasi tersebut tidak berubah banyak meskipun sistem Tanam Paksa dihapuskan pada tahun 1870 dan diganti oleh sistem perekonomian liberal, dimana perusahaan-perusahaan swasta diizinkan untuk membuka perkebunan-perkebunan dalam skala besar. Persoalannya masih sama, yaitu gaji yang terlalu kecil mengakibatkan para pejabat mengambil keuntungan pribadi dari sistem yang ada.

Dalam catatan banyak ahli sejarah, periode pendudukan Jepang dipercaya sebagai masa merajalelanya korupsi. Pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia sebagai arena perang, dimana segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan untuk kepentingan perang bala tentara Dai Nippon. Sangat sulit untuk mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu. Namun kesulitan tersebut “agak tertolong” jika ada yang mau berkolaborasi dengan pemerintah pendudukan Jepang. Jika ada yang mau menjadi corong kepentingan Jepang, maka kesulitan untuk mendapat pakaian atau bahan makanan sedikit teratasi.

Memasuki era kemerdekaan tahun 1945-1949, negara Indonesia yang baru lahir lebih banyak disibukkan dengan persoalan penataan sistem politik. Melalui kesepakatan yang diperoleh pada Perjanjian Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 secara resmi kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, walaupun sebagian besar sektor perekonomian masih dikuasai oleh Belanda. Pada tahun 1951 desakan untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, dan perusahaan Barat lainnya, semakin kuat. Akhirnya, di tahun 1958 ini pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 86/1958 tentang kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, terutama pada sektor perkebunan, minyak dan gas bumi, serta pertambangan.

Sebelum adanya undang-undang nasionalisasi tersebut, dengan alasan untuk memberikan proteksi kepada pengusaha-pengusaha pribumi, pemerintah Indonesia menerapkan suatu kebijakan yang diberi nama Politik Benteng. Berdasarkan kebijakan ini pengusaha-pengusaha pribumi diberikan bantuan kredit dan fasilitas, salah satunya adalah lisensi untuk mengimpor barang. Laba yang diperoleh oleh para pengusaha pribumi tersebut, dari penjualan barang impor di dalam negeri, diharapkan dapat menjadi modal untuk melakukan ekspansi usaha.

Namun pada akhirnya Politik Benteng ini tidak melahirkan pengusaha pribumi yang tangguh. Yang muncul justru praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Pengusaha-pengusaha yang mendapatkan lisensi tersebut hanyalah pengusaha-pengusaha yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik yang dominan. Pengusaha-pengusaha pribumi “dadakan” tersebut sama sekali tidak memiliki bekal kemampuan usaha yang memadai. Akhirnya mereka hanya “menyewakan” lisensi yang mereka miliki kepada pengusaha-pengusaha swasta lainnya, yang umumnya berasal dari pengusaha keturunan Cina. Praktek kongkalingkong inilah yang melahirkan istilah Ali-Baba. Si Ali yang memiliki lisensi dan di Baba yang memiliki uang untuk modal kerja lisensi tersebut.

Upaya untuk melakukan rasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, dan Barat lainnya, justru melahirkan persoalan baru. Sebelum UU tersebut diberlakukan pada tahun 1958, pihak militer telah melakukan aksi sepihak dan merebut perusahaan-perusahaan asing. Pada tanggal 13 Desember 1957 Mayor Jenderal A.H. Nasution (KSAD pada saat itu) mengeluarkan larangan pengambilalihan perusahaan Belanda tanpa sepengetahuan militer dan menempatkan perusahaan-perusahaan yang diambil alih tersebut di bawah pengawasan militer. Dapat dikatakan hingga tahun 1958 perusahaan-perusahaan yang diambil alih tersebut berada sepenuhnya di bawah pengawasan militer. Merekalah yang pada akhirnya memiliki wewenang untuk memberikan hak pengelolaan kepada pihak lain. Praktek ini lagi-lagi menimbulkan bentuk KKN baru dan praktek Ali-Baba, karena pengusaha-pengusaha swasta yang mendapatkan hak pengelolaan tersebut adalah pengusaha-pengusaha yang telah lama dekat dengan pihak militer.

Isu korupsi mulai terangkat pada media massa antara tahun 1951-1956 oleh koran lokal, Indonesia Raya yang dipandu oleh Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Menteri Luar Negeri saat itu menyebabkan koran tersebut kemudian dibreidel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi Perdana Menteri saat itu, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada sang Menteri, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut, mantan Menteri Penerangan, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Ironisnya, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru dipenjara pada tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Presiden Soekarno.

Memasuki era orde baru, awalnya pemerintahan berjalan cukup baik. Namun memasuki 10 tahun kedua, kasus korupsi mulai muncul yang dimulai dengan terkuaknya kondisi keuangan Pertamina yang mengalami kerugian besar. Kasus ini mengindikasikan pengelolaan keuangan negara yang tidak sehat pada Pertamina. Berikutnya, kasus-kasus korupsi muncul silih berganti. Yang menonjol antara lain pada tahun 1993, terjadi pembobolan pada Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) yang dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya. Pada kasus tersebut negara dirugikan sebesar Rp 1.3 Triliun. Kemudian kasus HPH dan Dana Reboisasi. Dari hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun. Bob Hasan sendiri telah divonis enam tahun penjara setelah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Sementara Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar.

Pertamina sendiri masih belepotan dengan korupsi. Dugaan korupsi dalam Technical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendopo, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara diperkirakan sebesar US $ 24.8 juta. Selanjutnya kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exor I) di Balongan, Jawa Barat. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 juta dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.

Puncak korupsi di era orde baru terjadi pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Mantan pejabat BI yang terlibat pengucuran BLBI (Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo) dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara. Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum antara lain : Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern). Hingga akhir tahun 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus.

Memasuki era reformasi pada tahun 2000, ternyata tidak dapat juga memangkas korupsi di Indonesia. Pada era ini muncul istilah ‘desentralisasi korupsi’ yaitu korupsi yang tidak hanya terpaku dilakukan oleh para pejabat pemerintahan, namun sudah melebar dilakukan oleh legislator, dunia usaha, hingga masyarakat umum. Korupsi tidak berpusat di Pemerintah Pusat, namun melebar ke daerah-daerah. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada era ini menguak gambaran yang lebih jelas tentang korupsi di Indonesia. KPK mampu membuka banyak kasus-kasus korupsi di Indonesia hingga memberi kesan di era reformasi ini korupsi lebih parah. Kasus korupsi yang terkuak sebagian besar adalah kasus suap atau gratifikasi yang melibatkan pejabat-pejabat dengan posisi strategis dalam penegakan hukum di Indonesia, seperti anggota legislatif, Hakim Agung, Jaksa, dan lainnya.

Fenomena korupsi lain yang menonjol adalah korupsi dalam pengelolaan keuangan negara/daerah oleh para Kepala Daerah sebagai konsekuensi tingginya biaya pencalonan dan pemilihan Kepala Daerah. Pada umumnya Gubernur/Bupati/Walikota terpilih menutupi tingginya biaya pemilihan dengan cara melakukan penyimpangan dalam pengelolaan APBD. Sampai dengan tahun 2010, setidaknya 150 Kepala Daerah dari sekitar 400 Kepala Daerah telah dikeluarkan ijin pemeriksaan terkait indikasi adanya korupsi.

Memperhatikan jalan panjang korupsi di Indonesia, tampaknya virus ini masih akan terus bercokol di negara ini jika tidak ditangani secara tepat. Perlu perjuangan ekstra keras untuk membasminya. Strategi pemberantasan yang efektif perlu dibangun dan dilaksanakan secara konsisten.



Naik Turunnya Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia layaknya roller coaster yang berjalan naik turun secara ekstrem. Upaya pemberantasan korupsi telah dimulai sejak awal berdirinya negara ini. Titik awal upaya tersebut dimulai pada tahun 1957 ketika diterbitkan Peraturan Penguasa Militer – Angkatan Darat dan Laut RI Nomor PRT/PM/06/1957, yang disempurnakan dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor PRT/PEPERPU/013/1958. Hal ini diterbitkan karena KUHP dianggap tidak mampu menanggulangi korupsi yang pada saat itu dianggap sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan rakyat. Selain masalah penindakan, ketentuan ini memungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik atas aset yang dimiliki seorang pejabat. Namun sejalan dengan dekrit presiden tahun 1959, pada tahun 1960 UU Keadaan Bahaya Nomor 74 tahun 1957 dicabut, dan secara otomatis peraturan-peraturan tersebut tidak berlaku lagi dan diganti dengan PERPU Nomor 24 Tahun 1960. Pasca dekrit, pemberantasan korupsi bukan menjadi isu lagi dalam penyelenggaraan negara.

Pada era orde baru, Presiden Soeharto mengawali upaya pemberantasan korupsi dengan membentuk Tim Pemberantasan Korupsi dengan Keppres Nomor 228 Tahun 1967. Tugas tim tersebut adalah membantu pemerintah dalam memberantas korupsi, yang dilakukan dengan cara pertama, Represif, yaitu dengan melakukan tindakan-tindakan hukum secara cepat dan tegas. Kedua, Preventif, yaitu dengan menyarankan kepada pemerintah tentang tindakan administratif dan tindakan lainnya yang harus diambil oleh pemerintah untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan timbulnya korupsi. Tim ini mempunyai fungsi memimpin, mengkoordinasikan dan mengawasi semua alat penegak hukum yang berwenang baik sipil maupun ABRI dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi.

Tim ini berhasil menangani tiga kasus besar saat itu yaitu kasus mantan Deputi Kapolri,Letjen Siswadji, kasus mantan Kepala DOLOG, Budiadji dan kasus pimpinan PT Djawa Building, Endang Widjaja. Namun demikian hasil kerja nyata tim yang bersifat preventif tersebut belum nampak.

Pada pertengahan dekade tahun 70an, Pemerintah kembali mengedepankan strategi represif yaitu dengan dibentuknya tim Operasi Penertiban (opstib). Hal ini untuk menangani pungutan liar yang saat itu sangat marak terjadi.

Pada tahun 1983, BPKP dibentuk sebagai instansi pengawasan intern pemerintah, BPKP juga melakukan berbagai hal dalam memberantas korupsi di Indonesia. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, BPKP tidak hanya menekankan pada pendekatan represif, namun membangun keseimbangan dengan upaya preventif. Selain melakukan audit khusus yang hasilnya diberikan kepada perangkat penegak hukum untuk diproses secara hukum, BPKP juga melakukan upaya-upaya perbaikan sistem dan prosedur yang dapat mencegah korupsi melalui koordinasi dengan pimpinan setiap instansi yang diaudit. Namun segala upaya tersebut menjadi bagian dari sistem yang tertutup dimana masyarakat luas tidak memiliki hak untuk melihat lebih jauh hasil pengawasan BPKP. Tidak mengherankan ketika muncul persepsi negatif dari berbagai pihak yang menilai seolah-olah saat itu (dekade 80 dan 90 an) tidak terjadi perbaikan yang signifikan dalam penanganan korupsi di Indonesia.

Pada tahun 1999, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menerbitkan sebuah dokumen kajian yang berjudul Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional edisi Maret 1999. Strategi dalam dokumen tersebut memiliki konsep yang lebih komprehensif serta langkah-langkah yang lebih konkrit jika dibandingkan sebelumnya. Pendekatan perumusan strategi terbagi dalam tiga kategori yaitu

Strategi Preventif, Strategi Detektif, dan Strategi Represif.

Strategi Preventif merupakan langkah pencegahan terjadinya korupsi antara lain meliputi kegiatan memperkuat DPR, MA dan Pengadilan; pembangunan kode etik di Sektor Publik, Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis; penyempurnaan manajemen SDM dan peningkatan gaji PNS; pengharusan penyusunan Perencanaan Strategis dan Laporan Akuntabilitas bagi instansi pemerintah; peningkatan kualitas Sistem Pengendalian Manajemen; penyempurnaan Manajemen Aktiva Tetap Milik Negara dan peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat.

Strategi Detektif merupakan langkah pengidentifikasian terjadinya korupsi antara lain melalui kegiatan penyempurnaan sistem pengaduan masyarakat; pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu; pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan; penggunaan Nomor Kependudukan Nasional dan peningkatan kemampuan APFP dalam mendeteksi Korupsi.

Sedangkan Strategi Represif merupakan langkah penindakan atas kasus-kasus korupsi yang terjadi meliputi kegiatan antara lain pembentukan Badan Anti Korupsi (KPK.Red); penyidikan, penuntutan, peradilan dan penghukuman beberapa koruptor besar; penentuan jenis dan kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas; pemberlakuan konsep pembuktian terbalik dan publikasi kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi.

Memasuki akhir dekade tahun 90an, era orde baru berakhir dan reformasi bergulir. Pemberantasan korupsi menjadi isu utama bergulirnya reformasi. Upaya pemberantasan korupsi meningkat pesat dan cenderung menjadi euforia. Berbagai peraturan diterbitkan dan penanganan kasus-kasus korupsi meningkat tajam. Dari aspek strategi, pemberantasan korupsi tidak hanya bersifat represif, namun ada peningkatan kemampuan mengidentifikasikan korupsi (strategi detektif).

Pada era reformasi ini, strategi yang tertuang dalam dokumen Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional 1999 menjadi acuan dalam penetapan langkah-langkah pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal tersebut tercermin dari terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, adanya kewajiban penyusunan Laporan Kekayaan pada pejabat publik, Penyempurnaan Sistem Pengaduan Masyarakat, Adanya kewajiban penyusunan Renstra dan LAKIP, penyempurnaan manajemen aset negara dan peningkatan kualitas pelayanan pada masyarakat. Namun demikian masih terdapat beberapa yang belum dilaksanakan hingga saat ini seperti halnya penggunaan nomor kependudukan nasional dan pemberlakuan konsep pembuktian terbalik. Pada 10 tahun pertama reformasi, timbul optimisme besar di masyarakat bahwa korupsi dapat segera enyah dari negara ini.

Pada tahun 2004 di awal pemerintahan SBY, Pemerintah menerbitkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi 2004 – 2009. Hal ini merupakan action plan dari komitmen Pemerintah SBY dalam pemberantasan korupsi. Dalam dokumen tersebut, terdapat empat langkah utama yaitu (1) Pencegahan Terjadinya Tindakan Korupsi, (2) Penindakan Perkara Korupsi, (3) Pencegahan dan Penindakan Korupsi dalam Rehabiltasi dan Rekonstruksi NAD dan Sumatra Utara, dan (4) Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Aksi.

Untuk langkah pencegahan, RAN tersebut mengedepankan tiga hal yaitu mendesain ulang pelayanan publik, memperkuat transparansi, pengawasan dan sangsi, serta meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi. Sedangkan langkah penindakan ditujukan pada (a) percepatan penanganan dan eksekusi perkara TPK pada 5 sektor prioritas, (b) peningkatan dukungan terhadap lembaga penegak hukum, (c) peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum, dan (d) pengembangan sistem pengawasan lembaga penegak hukum.

Secara umum konsep pemberantasan korupsi dalam RAN 2004-2009 tidak berbeda jauh dengan strategi sebelumnya. Perbedaan yang signifikan adalah adanya peningkatan monitoring dan evaluasi oleh masing-masing instansi atas kasus-kasus yang ada. Dengan monitoring dan evaluasi tersebut, diharapkan peran instansi dalam mencegah dan menindak korupsi yang terjadi di lingkungannya dapat dilaksanakan secara lebih efektif.

Pada awal tahun 2009, optimisme yang timbul mulai berubah ketika memasuki dekade kedua era reformasi. Upaya detektif dan represif yang dikembangkan mulai mengalami stagnansi. Berbagai kasus justru melemahkan upaya tersebut seperti kasus Cicak-Buaya, kasus Antasari dan kasus Bibit - Chandra. Sedikit demi sedikit mulai timbul persepsi di masyarakat bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kembali melemah. Para pengamat mulai kembali pesimis dengan strategi pemberantasan korupsi yang telah ditempuh Pemerintah.


Memasuki Era Pencegahan

Mencermati perjalanan panjang kasus-kasus korupsi dan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia, kita layak merenung dan bertanya, strategi apa lagi yang harus dikembangkan agar korupsi dapat segera enyah dari bumi Indonesia ini. Mantan Wakil Ketua KPK, Amien Sunaryadi menyebutkan bahwa upaya pemberantasan korupsi “sudah baik tapi belum cukup”. Walaupun trend penanganan sudah meningkat, tapi belum cukup untuk memberantas korupsi sesuai harapan masyarakat.

Sebuah pembelajaran dari sejarah dan strategi pemberantasan korupsi sebagaimana terurai di atas, dapat disimpulkan bahwa membangun strategi pemberantasan korupsi memerlukan strategi yang komprehensif dan tepat serta melibatkan seluruh komponen bangsa dengan berbagai pendekatan yang ada. Belajar dari tahun 1957, 1967, 1977, dan terakhir 1999 – 2007, ternyata mengedepankan upaya pendekatan represif tidaklah cukup. Pendekatan ini memang menciptakan popularitas bagi penguasa dan dapat memberi efek jera bagi penyelenggara negara. Selain itu dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat pada Pemerintah. Namun perjalanan sejarah membuktikan bahwa pendekatan represif dan detektif tidaklah cukup ampuh untuk menciptakan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik. Pendekatan tersebut selalu diikuti oleh upaya perlawanan dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan kekuatan yang tidak kalah besarnya, hingga setiap terjadi trend peningkatan dalam upaya pemberantasan korupsi, selalu diikuti dengan trend menurun pada beberapa tahun berikutnya.

Untuk itu perlu dilakukan beberapa langkah yang efektif dalam mendorong upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, antara lain :

1. Memasuki Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu kedua (2009 – 2014) perlu disusun kembali Strategi Pemberantasan Korupsi yang efektif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Pengembangan strategi tidak hanya mengedepankan upaya represif, namun perlu mengedepankan juga upaya dengan pendekatan preventif dan pre emptive yang selama ini cenderung tidak diperhatikan.

2. Membangun manajemen pemerintahan yang dilengkapi early warning system sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya penyimpangan atau korupsi. Dinamika kehidupan yang selalu menciptakan perubahan pada semua aspek yang dapat membuka celah-celah terjadinya penyimpangan. Untuk itu kualitas sistem pengendalian harus senantiasa dijaga melalui monitoring oleh aparat pengawas intern pemerintah. Implementasi komponen-komponen SPIP sesuai PP Nomor 60 Tahun 2008 perlu dilaksanakan secara intensif pada setiap instansi pemerintah. Inovasi-inovasi baru perlu dikembangkan dalam mencegah korupsi seperti whistleblower system dalam internal instansi.

3. Menciptakan kondisi yang kondusif (pre emptive) dalam mencegah korupsi pada semua lapisan masyarakat. Bangsa Indonesia perlu membangun budaya anti korupsi pada setiap warga negaranya. Dalam setiap nafas kehidupan anak bangsa, sejak bangun di pagi hari hingga tidur di malam hari perlu ditanam dalam-dalam paradigma anti korupsi. Perilaku disiplin dan taat aturan serta anti korupsi perlu dibudayakan di keluarga atau di tingkat lingkungan RT/RW dan menjadi nilai sosial dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Untuk itu perlu dilakukan program-program sosialisasi tentang anti korupsi. Pada kurikulum pendidikan dari tingkat dasar, menengah hingga tinggi, perlu dimasukan nilai-nilai luhur anti korupsi. Dengan demikian pada setiap jiwa anak bangsa akan tertanam paradigma ‘malu’ untuk berbuat korupsi.

4. Evaluasi atas kasus-kasus yang tengah dan sudah diproses secara hukum (Represif untuk Preventif) harus dikedepankan sebagai upaya mencegah terulangnya kembali penyimpangan yang terjadi. Perbaikan sistem dan prosedur dalam pemberantasan korupsi melalui pendekatan ini akan berjalan efektif dalam menangani kasus-kasus yang bersifat current issues seperti kasus-kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah di Indonesia.

Bercermin dari sejarah, dalam memberantas korupsi saat ini kita harus masuk ke era pencegahan. Sebuah era baru yang membangun sistem dan prosedur serta kesadaran pada setiap komponen bangsa untuk mencegah terjadinya korupsi. Mencegah lebih baik dari pada Menindak ! **dari berbagai sumber**

TOP

Remunerasi Mampu Meminimalisir 'Main Mata' di Kejaksaan?

Kamis, 25 Nopember 2010

Tidak sepadannya gaji seorang jaksa dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi dituding menjadi penyebab gagalnya fungsi Kejaksaan dalam penegakan hukum secara maksimal. Remunerasi diperlukan guna menunjang peran Kejaksaan dan menjauhkan jaksa dari godaan-godaan yang ada saat menangani perkara.

Hal itu terungkap dalam diskusi 'Evaluasi Peran Penegakan Hukum di Indonesia' yang digelar Komisi Hukum Nasional, di Hotel Millenium Sirih, Jl Facrudin, Senin (8/11/2010).

"Kondisi dari income jaksa tidak memadai dalam tantangan ekonomi ke depan. Sehingga bagi mereka bila mendapat income yang memadai akan sangat mengurangi godaan-godaan yang akan datang kepada mereka," kata Anggota Komisi Kejaksaan Halius Hossen.

Halius menambahkan, saat ini sistem pengajian Kejaksaan masih mengikuti sistem pengajian pegawai negeri sipil pada umumnya. "Seyogyanya Kejaksaan sama dengan KPK atau MA, kenapa harus dibedakan?" ujarnya.

Dia mencontohkan, perbedaan mencolok antara gaji seorang jaksa yang berada di Gedung Bundar Kejaksaan Agung sebesar Rp 3,8 juta dengan gaji komisioner KPK yang mampu mencapai Rp 20 juta.

"Tugasnya sama, tantangannya sama, kepentingannya pun sama dalam penegakan hukum bahkan Kejaksaan juga menangani perkara yang tidak hanya pidana khusus," ujarnya.

Meskipun Kejaksaan diterpa penilaian minus oleh masyarakat terkait dengan kualitas kerja Kejaksaan saat ini, dia optimistis Korps Adhyaksa dapat meminimalisir jaksa yang main mata jika renumerasi diberlakukan.

"Jika mereka mendapatkan remunerasi mereka diikatkan dengan ikatan jelas dan tegas. Mereka akan dibebankan motto change or out, kalau mereka melakukan kesalahan mereka keluar dari kejaksaan, saya yakin 12 ribu jaksa akan siap melaksanakan motto itu," tegas Halius yang pernah berprofesi sebagai jaksa selama 36 tahun.

Di tempat sama, Ketua Hukum Nasional JE Sahetapy menolak argumen yang disampaikan Halius. Menurutnya, remunerasi bukan syarat mutlak dalam memaksimalkan peran kejaksaan, terlebih dalam reformasi di tubuh kejaksaan itu sendiri.

"Remunerasi bukan syarat mutlak dalam mereformasi Kejaksaan. Yang terpenting adalah mind set Kejaksaan itu sendiri apakah mereka mau benar benar mengabdi untuk bangsanya?" ujar Sahetapy.**detikNews**

TOP

Kejatisu Kirim Kekurangan Izin Pemeriksaan Rahudman

Kamis, 25 Nopember 2010

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) telah melengkapi surat izin pemeriksaan terhadap mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan (Pemkab Tapsel), Rahudman Haharap (RH).

Surat tersebut juga telah dikirim kembali ke Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk disampaikan pada Presiden RI, sekaitan izin pemeriksaan RH yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi penyaluran Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Tapsel 2004-2005, yang berdasarkan audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terdapat kerugian negara sebesar Rp1,5 miliar lebih.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut (Kajatisu), Sution Usman Adji didampingi Wakajatisu, I Putu Gede Jeladha, Asisten Pidana Khusus, Erbindo Saragih, Asisten Intelijen, Andar Perdana dan Kasipenkum/Humas, Edi Irsan Kurniawan Tarigan, Rabu (24/11) di ruang kerjanya mengatakan, kelengkapan tersebut dibuat atas permintaan Kejagung RI beberapa waktu lalu.

Sebab surat permohonan yang telah dikirimkan sebelumnya ke Kejagung dinyatakan belum lengkap, sehingga dikembalikan lagi pada pihaknya untuk dilengkapi kekurangannya. Sesuai ketentuan yang ada, lanjut Kajatisu, Jaksa Agung meminta pengajuan tersebut harus melampirkan kerugian negara sebagaimana temuan BPK.

Pada surat sebelumnya, pihaknya hanya mengajukan temuan kerugian negara atas nama tersangka Amri Tambunan (AT) yang saat ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Padang Sidempuan dalam kasus serupa. Pihaknya juga dalam waktu dekat, meminta keterangan dari BPK sebagai saksi ahli atas temuannya tersebut.

Sebagaimana diketahui, dalam kasus ini Kejatisu telah memeriksa pejabat dan mantan pejabat Pemkab Tapsel sebanyak 15 orang. Mereka diperiksa sebagai saksi, atau dimintai keterangannya untuk melengkapi berkas RH.**analisadaily.com**

TOP

Kejagung Kembalikan Surat Izin Pemeriksaan Wali Kota Medan

Kamis, 25 Nopember 2010.

Kejaksaan Agung belum lama ini telah mengembalikan surat izin permohonan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka Wali Kota Medan Rahudman Harahap ke Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara untuk segera dilengkapi. Surat yang akan dikirim ke Presiden itu dianggap masih ada kekurangan. Hal itu dibenarkan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sumut, Erbindo Saragih di Medan, Sumut, Senin (22/11) malam.

Erbindo mengatakan, surat yang belum lengkap itu akan disempurnakan oleh Kejati Sumut. Selanjutnya, surat tersebut akan dikirimkan secepatnya ke Kejagung. "Kejati Sumut tetap akan bekerja dengan melengkapi surat yang diminta Kejagung," katanya.

Selanjutnya, ia mengatakan, Kejati Sumut tetap serius dalam mengusut kasus dugaan penyimpangan TPAPD di Kabupaten Tapsel yang merugikan keuangan negara itu. Bukti keseriusan dalam menangani kasus tersebut, jelasnya, tim pemeriksa Kejati Sumut terus memeriksa saksi-saksi. "Para saksi-saksi dalam kasus TPAPD itu dimintai keterangan di Kejati Sumut," kata Erbindo.

Sebelumnya, surat pemeriksaan dan pemanggilan terhadap Rahudman itu dikirimkan Kejati Sumut ke Kejagung, 2 November 2010. Rahudman ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Pemkab Tapanuli Selatan (Tapsel) Tahun Anggaran 2005 senilai Rp1,5 miliar pada 26 Oktober 2010. Dugaan korupsi itu terjadi saat Rahudman menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkab Tapsel.

Penetapan tersebut berdasarkan hasil pengembangan berita acara pemeriksaan (BAP) tersangka Amrin Tambunan, mantan pemegang kas Sekretariat Daerah Pemkab Tapsel yang dilimpahkan penyidik Polda Sumut ke Kejati belum lama ini. Dalam BAP tersebut, tersangka Amrin Tambunan dalam TPAPD Rp1,5 miliar yang dituduhkan itu dilakukan secara bersama-sama dengan Rahudman Harahap, Sekda Pemkab Tapanuli Selatan saat itu.

Dugaan penyalahgunaan wewenang itu, terjadi pada penyaluran TPAPD Tahun Anggaran 2005. Di mana tersangka Amrin dengan Rahudman telah menyalurkan dana tersebut sebelum disahkannya pada APBD Tahun Anggaran 2005.**metronews.com**


TOP

CALON JAKSA AGUNG SULIT MENGANDALKAN JAKSA KARIR

Jum'at, 19 Nopember 2010

Kondisi kejaksaan RI saat ini sudah sangat mengkhawatirkan sehingga sulit mengandalkan kepemimpinan jaksa karier sebagai Jaksa Agung. Sebab, jaksa karier akan mengalami beban sejarah untuk mengembalikan citra lembaga penegak hukum yang kini sudah tercemar oleh perilaku oknumnya itu.

Demikian rangkuman pendapat Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki, peneliti pada lembaga kajian hukum Indonesia Legal Roundtable (ILR) Asep Rahmat Fajar, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, mantan Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Margarito Kamis, dan praktisi hukum Albert Hasibuan yang disampaikan dalam kesempatan terpisah kemarin.

Asep menilai, kondisi jaksa saat ini sudah sangat kritis, terutama setelah terungkapnya banyak hal yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum tersebut terus menurun. Asep menyebutkan beberapa kasus pidana yang melibatkan jaksa makin marak belakangan ini, mulai dari kasus dugaan suap dengan terdakwa jaksa pengkaji kasus penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Urip Tri Gunawan, sampai dengan kasus bocornya rencana penuntutan (rentut) perkara atas nama Gayus Halomoan Tambunan di Pengadilan Negeri Tangerang. Untuk itu, Asep menilai tidak bisa lagi menyerahkan jabatan Jaksa Agung kepada jaksa karier.

"Sebab, jaksa karier memiliki beban sejarah untuk melakukan perbaikan dan tidak akan mampu menghadapi hambatan dari dalam lingkungan kejaksaan, sehingga tidak akan mungkin mengembalikan kepercayaan masyarakat," kata Asep.Padahal, baik Teten maupun Asep menilai, figur Jaksa Agung yang dibutuhkan saat ini adalah figur yang mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penuntutan tersebut. Dia juga harus memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi.Untuk itu, Asep mengingatkan agar figur Jaksa Agung yang baru nanti tidak hanya orang yang paham dengan seluk beluk hukum acara dan teknis hukum dalam melakukan penuntutan maupun penyidikan, tetapi juga harus memahami betul persoalan reformasi birokrasi.

"Untuk itu, penting bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memilih figur Jaksa Agung yang juga memiliki tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi," kata Asep.

Orang-orang yang bukan berasal dari jaksa karier dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi, menurut Asep, masih bisa ditemukan. Dia mencontohkan dua calon pimpinan KPK yang tinggal menunggu fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan) serta Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein yang dinilai Asep masih memenuhi syarat itu.Untuk itu, Teten mempertanyakan lambannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Jaksa Agung definitif. "Ini penundaan yang tidak perlu. Jika sikap ini diteruskan, jelas ada keraguan dalam diri Presiden," kata Teten. Hal tersebut juga menunjukan sikap Presiden yang pro terhadap aparatur kejaksaan yang menolak reformasi birokrasi.Hal senada diungkapkan mantan Staf Khusus Mensesneg yang pengajar hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis. Dia mengatakan, jika memiliki komitmen menegakkan supremasi hukum, Presiden SBY harus mempertimbangkan betul posisi Jaksa Agung diambil dari jalur jaksa nonkarier. Menurut dia, tidak hanya untuk posisi Jaksa Agung, tetapi untuk Jaksa Agung Muda (JAM) pun, sebenarnya dimungkinkan untuk diisi orang luar, terutama untuk JAM Bidang Pengawasan dan JAM Bidang Pembinaan.

"Dua posisi itu sangat strategis untuk menjaga profesionalisme kejaksaan. Kita butuh Jaksa Agung yang kredibel. Jaksa Agung itu kan orang presiden, tidak ada istilah berbagi dengan DPR. Jaksa Agung itu pada titik tertentu bersifat independen, tetapi pada dasarnya dia tetap orangnya presiden. Dari dalam OK, dari luar pun tidak masalah. Cuma, persoalannya, kalaupun dari orang dalam, siapa yang layak untuk menjabat Jaksa Agung itu," kata Margarito

Menurut Adnan, tidak adanya Jaksa Agung definitif mengakibatkan Kejaksaan Agung tidak optimal dalam melaksanakan tugas sebagai lembaga penegak hukum.
"Tampaknya, Presiden SBY lebih mempertimbangkan dampak politik pemilihan Jaksa Agung ketimbang semangat mereformasi Kejaksaan Agung. Jadi, sangat mungkin, yang akan tampil sebagai Jaksa Agung juga orang yang mengecewakan publik," ujar Adnan.
Menurut Adnan, banyak persoalan yang harus dibenahi di dalam Kejaksaan Agung saat ini. Untuk itu, harus dilakukan sesegera mungkin dengan cara Presiden menetapkan Jaksa Agung definitif.
"Agar tidak terjadi tarik-menarik kepentingan, seyogianya Jaksa Agung yang baru dipilih dari unsur nonkarier," kata Adnan.

Kalau posisi tersebut dijabat lagi oleh orang dalam, Adnan menilai akan menyulitkan upaya perbaikan lembaga tersebut yang citranya sudah rusak akibat ulah oknumnya. Menurut Adnan, Jaksa Agung nonkarier membuat upaya melakukan reformasi birokrasi di lembaga penegak hukum itu lebih terbuka.
"Orang seperti Mas Achmad Santosa (anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum) bisa dipertimbangkan. Kiprah Mas Ota sudah sangat dikenal di kalangan masyarakat luas," kata Adnan.
Sementara itu, Albert Hasibuan mengatakan, desakan masyarakat agar Presiden segera menunjuk Jaksa Agung definitif merupakan sebuah keharusan."Ini sebuah keharusan yang mendesak untuk dilakukan oleh Presiden. Tuntutan masyarakat agar penegakan hukum berjalan efektif menjadi alasan utamanya. Karena itu, Presiden harus segera menunjuk Jaksa Agung definitif," ujar Albert.

Albert tidak mempersoalkan latar belakang calon Jaksa Agung tersebut. Namun, yang perlu diingat sosok itu harus mampu melaksanakan tugas sesuai dengan keinginan masyarakat.
"Yakni, mampu membenahi kondisi internal kejaksaan dan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat dalam menegakkan hukum, terutama menyangkut pemberantasan korupsi yang masih mengecewakan," ujar Albert.**suarakarya-online**


TOP

Kadis Kesehatan Nisel diperiksa

Jum'at, 12 November 2010

Tim penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) memeriksa Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Nias Selatan (Nisel), terkait kasus dugaan korupsi pengadaan alat-alat kesehatan dan obat-obatan di daerah itu senilai Rp3,5 miliar.

"Benar, Kadis Kesehatan Nisel berinisial AD sudah memenuhi panggilan kita. Pejabat tersebut diperiksa masih sebagai saksi," kata Asisten Tindak Pidana Khusus Kejatisu Erbindo Saragih, pagi ini.

Pemeriksaan AD, lanjut Erbindo, merupakan bagian dari tindak lanjut penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi pengadaan alat-alat kesehatan dan obat-obatan di Dinas Kesehatan Nisel yang dilakukan tim penyidik tindak pidana khusus Kejatisu.

Mengenai kemungkinan AD selaku bagian dari kuasa pengguna anggaran (KPA) ditetapkan sebagai tersangka, Erbindo mengatakan, hal itu masih dalam penyelidikan. "Semuanya masih diselidiki apakah dia terlibat atau tidak, tergantung penyidikan dan bukti-bukti yang ada," tegasnya.

Menurut Erbindo, kasus ini masih terus dikembangkan. Pengumpulan bukti dan keterangan masih terus berjalan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat selain ketiga tersangka. "Peluang bertambahnya tersangka baru tetap ada, hanya semua tergantung barang bukti sebagaimana ketentuan hukum, " katanya.

Sebelumnya, tim Pidsus Kejatisu menetapkan tiga tersangka yakni KH Pejabat Pembuat Komitem (PPK), AM staf program pada P2 Dinkes Nias Selatan selaku panitia pengadaan obat-obatan dan perbekalan kesehatan Dinas Kesehatan Nias Selatan serta KD selaku rekanan.

Bentuk perbuatan korupsi tersebut dilakukan dengan mark up harga obat dan pengadaan obat tidak sesuai prosedur. Akibatnya, negara dirugikan senilai Rp2,5 miliar dari nilai pagu pengadaaan obat sebesar Rp3,5 miliar.**waspada.co.id**

TOP

JAJARAN KEJATI SUMUT TANGANI RATUSAN PERKARA KORUPSI

Jum'at, 12 November 2010

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) bersama jajarannya kejaksaan negeri (Kejari) daerah ini kini sedang menangani ratusan perkara korupsi.

Dari jumlah itu, 130 kasus di antaranya sudah ditingkatkan berkasnya ke tahap penyidikan (Dik) dengan 130 tersangka. Termasuk 80 berkas dinaikkan ke tahap penuntutan (Tut) atau ke tahap persidangan. "Dari data perkara di bagian Pidsus, hingga awal November 2010 sudah 130 berkas perkara korupsi masuk ke tahap penyidikan, termasuk sebagian ke tahap penuntutan.

Begitu pun tidak ada yang luar biasa. Semua ini biasa saja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kami di kejaksaan,"kata Kajati Sumut, Sution Usman Adji, Kamis. Ddalam optimalisasi pemberantasan kasus korupsi yang dicanangkan Kejaksaan Agung (Kejagung), Kejati Sumut bersama jajarannya mendapat beban tugas sebanyak 121 penanganan perkara korupsi pada tahun 2010. Sedangkan untuk Kejati dibebankan menangani 18 perkara korupsi.

Namun, kata Kejati Sumut sudah menangani 36 perkara korupsi ke tingkat penyidikan, atau sudah melewati beban tugas dari Kejagung. Kasus yang tahap Dik itu antara lain, kasus pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidrolik di Kabupaten Pakpak Barat dan 3 proyek kegiatan peningkatan jalan di Dinas Bina Marga Simalungun.

Kemudian, kasus pengadaan alat-alat kesehatan (alkes) di Dinas Kesehatan, Nias Selatan; proyek pengaspalan jalan di Dinas PU Binjai, pemetakan sawah di Asahan, kasus APBD Langkat, dana bantuan banjir Bukit Lawang, Langkat dan lain-lain.

Sedangkan yang sudah tahap penuntutan di antaranya, kasus korupsi anggaran asuransi kesehatan kerja sama Asuransi Beringin Life dengan PT Pelindo I dan kasus pengadaan alkes di RSU Kabanjahe dan lain-lain.

Menjawab pertanyaan, Kajati Sumut membenarkan ada beberapa kasus lagi terkait dugaan korupsi yang sedang diproses. Seperti, pembangunan pasar Siborong-borong di Tapanuli Utara, kasus dugaan korupsi pembangunan 7 kantor SKDP (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Kabupaten Batubara, berikut pembangunan perkantoran di Nias Selatan.

Sementara itu Kejaksaan Negeri Stabat, Kabupaten Langkat, menetapkan Sekda Kabupaten Langkat HSJ sebagai tersangka korupsi kasus penghitungan kelebihan pembayaran pajak gaji PNS Langkat Tahun 2001-2002, senilai Rp 1 miliar lebih.

Kasi Pidsus Kejari Stabat R Firmansyah SH, Kamis menjelaskan, tidak hanya Sekda saja yang ditetapkan sebagai tersangka, tetapi konsultan pajak berinitial HN juga ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Firmansyah, sebelum ditetapkan sebagai tersangka, HSJ telah dua kali dipanggil sebagai saksi. "Penetapan tersangka tersebut, berdasarkan keterangan dari enam saksi yang sudah dimintai keterangan terkait kasus itu," katanya.**suarakarya-online.com**

TOP

KEJAKSAAN AGUNG LANTIK 7 PEJABAT ESELON II

Kamis, 11 November 2010

Plt Jaksa Agung, Darmono kembali melantik sejumlah pejabat eselon II di lingkungan Kejaksaan Agung. Ada 7 pejabat baru yang dilantik, yakni 4 Kepala Kejaksaan Tinggi, 2 Inspektur pada Jaksa Agung Muda Pengawasan dan seorang staf ahli Jaksa Agung.Pelantikan dilakukan di ruang Baharuddin Lopa, Gedung Utama Kejaksaan Agung, Selasa (9/11).

Empat pejabat yang dilantik menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi adalah Muhammad Yusni yang sebelumnya menjabat Wakil Kejaksaan Tinggi DKI, kini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Widyo Pramono yang sebelumnya menjabat Inspektur Tindak Pidana Umum pada Jaksa Agung Muda Pengawasan, kini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.

Kemudian, BD Nainggolan yang sebelumnya menjabat Inspektur Intelijen pada Jaksa Agung Muda Pengawasan, kini menduduki jabatan sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi. Sedangkan AR Nashruddien, yang sebelumnya menjabat Wakil Kejaksaan Tinggi Maluku Selatan, kini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.

Selain itu, Darmono juga melantik 3 pejabat eselon II yang terdiri atas seorang staf ahli Jaksa Agung dan 2 orang pejabat eselon II pada lingkungan Jaksa Agung muda Pengawasan yaitu, Halili Toha yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, kini menjabat sebagai staf ahli Jaksa Agung.

Lalu, Yuswa Kusumah Affandi Basri yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi, kini menjabat sebagai Inspektur Tindak Pidana Umum pada Jaksa Agung Muda Pengawasan.

Donny Kadnezar Irdan, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, kini menduduki jabatan sebagai Inspektur Intelijen pada Jaksa Agung Muda Pengawasan. **kejaksaan.go.id**

TOP

Kejati Sumut Minta Izin Presiden Periksa Rahudman

Selasa, 9 November 2010


Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sudah mengirimkan surat permohonan izin ke Presiden RI untuk memeriksa Wali Kota Medan Rahudman Harahap sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2005 senilai Rp 1,5 miliar. “Permohonan izin pemeriksaan tersebut dikirimkan melalui Kejaksaan Agung pada 2 November 2010,” kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sumut Erbindo Saragih ketika dihubungi di Medan.

Sebelumnya, Kejati Sumut, Selasa (26/10) menetapkan Wali Kota Medan Ruhudman Harahap sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintah Desa Pemkab Tapanuli Selatan (Tapsel) tahun anggaran 2005 senilai Rp1,5 miliar. Dugaan korupsi itu terjadi saat Rahudman menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkab Tapsel.

Penetapan tersebut berdasarkan hasil pengembangan berita acara pemeriksaan (BAP) tersangka Amrin Tambunan, mantan pemegang kas Sekretariat Daerah Pemkab Tapsel yang dilimpahkan penyidik Polda Sumut ke Kejati belum lama ini. Dalam BAP itu, tersangka Amrin Tambunan dituduh mengorupsi Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) senilai Rp1,5 bersama dengan Ruhudman selaku Sekkab. Dugaan penyalahgunaan wewenang itu terjadi pada penyaluran TPAPD tahun anggaran 2005. Di mana tersangka Amrin dengan Rahudman telah menyalurkan dana tersebut sebelum disahkannya APBD 2005.

Erbindo mengatakan, pemeriksaan Rahudman harus mendapat izin dari Presiden RI karena yang bersangkutan saat ini menjabat Wali Kota Medan. Setiap kepala daerah yang akan dipanggil dan diperiksa kejaksaan harus terlebi dahulu mendapat persetujuan dari Presiden RI. “Ini sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” katanya. Selanjutnya, ia mengatakan pihak kejaksaan akan menunggu izin pemeriksaan tersebut. Ketika ditanya sudah berapa orang saksi yang diperiksa dalam kasus tersangka Rahudman, Erbindo mengatakan, sudah tiga orang pejabat dari Pemkab Tapsel yang diperiksa. “Ketiga pejabat itu dimintai keterangan di Kejati Sumut, Senin (1/11) oleh tim pemeriksa,” kata Erbindo**antara.com**

TOP

Mark Up Pengadaan Obat - Dua Pejabat Dinkes Nisel Ditahan

Medan, 5 November 2010


Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) melakukan penahanan terhadap dua pejabat di Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan (Nisel) dalam kasus dugaan tindak pidana mark up pengadaan obat-obatan di Dinkes Nisel tahun 2007. Selain menahan Cristian Hondro dan Abrektus Manao, Kejatisu juga menahan seorang rekanan bernama Kendi Damanik.


Usai menjalani pemeriksaan di ruang Pidana Khusus (Pidsus) Kejatisu, Kamis (4/11) sekitar pukul 17.00 WIB, ketiganya digiring ke Rumah Tahanan (Rutan) Tanjung Gusta Medan, dengan menaiki mobil tahanan BK-9673-YX.


“Ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian dilakukan penahanan. Hasil penyidikan Pidsus ditemukan adanya mark-up dalam pengadaan obat-obatan yang menyebabkan adanya kerugian negara diperhitungkan sebesar Rp 2,5 miliar,” ujar Kasipenkum Kejatisu Edi Irsan Tarigan. Dijelaskannya, Dinkes Nisel mengadakan pengadaan obat-obatan yang bersumber dari APBD Kabupaten Nisel Tahun 2007 dengan Pagu senilai Rp 3,5 miliar yang ternyata dilakukan tanpa proses tender.


Dalam pengadaan itu, Cristian Hondro sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Abrektus Manao sebagai Panitia Pengadaan dan Kendi Damanik sebagai kontraktor dari PT Safeta Rianda. “Dugaan mark up ditemukan karena harga obat tidak standard sesuai dengan Kepmenkes Nomor 521/Menkes/SK/VII/2007,” kata Edi Irsan.


Sementara harga obat yang dipakai dalam pengadaan itu, lanjut Edi Irsan, berpedoman pada SK Bupati Nisel Nomor 050/110/K/2007. “Selain itu pelaksaan pengadaan, bertentangan pada Kepres Nomor 8 tahun 2003 yang merupakan pedoman pada pengadaan barang dan jasa,” jelasnya.


Setelah menetapkan tersangka dan melakukan penahanan tambah, tim penyidik Pidsus ke depanya akan melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Ketika ditanyakan apakah kemungkinan akan ada tersangka lain dalam kasus ini seperti Kadis Kesehatan Nisel Rahmat Alyakim Dakhi. Begitu pula dengan Bupati Nisel F Laia SH MH sendiri terkait dengan adanya SK Bupati Nisel Nomor 050/110/K/2007. Edi Irsan tidak bersedia memberikan jawaban. “Tapi nanti akan kita dalami,” ujarnya.


Kasus ini diselidiki berawal dari adanya laporan masyarakat kepada Kacabjari Teluk Dalam sesuai laporan No: 001/KPN-LP2KHN/ I/2009 tanggal 11 Januari 2010 lalu. Oleh BPK RI Perwakilan Medan ditemukan adanya kerugian negara minimal Rp1.783.103.724 dalam pengadaan obat tersebut.


PT Safeta Rianda mendapat penunjukan langsung sesuai dengan surat pejabat pembuat komitmen pengadaan barang jasa Dinkes Nisel No.442.1/02/PPK-PL/IX/2007 tanggal 21 September 2007 yang ditujukan kepada panitia pengadaan Obat-Obatan di Dinkes Nisel.**harian-global.com**

TOP

Putusan MK Tentang Pencabutan UU Nomor 4/PNPS/1963 Hanya Bersifat Represif

Medan, 29 Oktober 2010

“Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencabutan UU Nomor 4/PNPS/1963 hanya mempertimbangkan aspek represif dan tidak mempertimbangkan aspek preventif”, demikian disampaikan Jaksa Agung Muda Intelijen Edwin P Situmorang dalam acara wawancara dengan Anteve Kamis sore (28/10) diruang kerjanya.

Lebih lanjut Edwin P Situmorang menambahkan bahwa Putusan MK tersebut seharusnya mempertimbangkan seluruh aspek baik itu represif maupun preventif. Preventif disini karena dalam penegakan hukum khususnya pelarangan barang cetakan harus melihat faktor atau aspek pencegahan.

“Harus dipahami bahwa dalam Negara Hukum dapat dilakukan tindakan-tindakan hukum asal diatur dalam Undang undang, termasuk pengaturan pelarangan barang cetakan yang memang telah diatur dalam UU Nomor 4/PNPS/1963 yang merupakan produk hukum orde lama, akan tetapi undang undang tersebut masih relevan dan sudah melalui berbagai macam proses hukum dalam masa pemberlakuannya”, tambah Edwin P Situmorang.

Menurut JAM Intel, dalam proses penegakan hukum khususnya pelarangan barang cetakan perlu dilakukan upaya pencegahan atau preventif selain upaya penindakan atau represif, hal ini karena lebih baik melakukan pencegahan berupa pelarangan karena apabila tidak dilakukan pelarangan akan menimbulkan kegelisahan. Tidak perlu dipertentangkan antara UU Nomor 4/PNPS/1963 dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004.

“Lebih baik mencegah daripada menindak dalam proses penegakan hukum”, ujar Edwin P Situmorang yang juga mantan JAM Datun tersebut.

Edwin P Situmorang khawatir bahwa setelah dicabutnya UU Nomor 4/PNPS/1963 akan menimbulkan terjadinya tindak pidana dan akan terjadi gangguan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Hal ini karena dengan dicabutnya UU Nomor 4/PNPS/1963 tersebut berarti penyitaan terhadap barang cetakan tidak akan dapat dilakukan lagi oleh Kejaksaan, sementara penyitaan merupakan tindakan selanjutnya setelah dilakukannya pelarangan barang cetakan yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Sehingga Kejaksaan tidak akan mampu atau tidak berdaya menghadapi hal itu. **kejagung.go.id**

TOP

Rahudman Harahap Tersangka Korupsi TPAPD Tapsel

Medan, 27 Oktober 2010

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) menetapkan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkab Tapanuli Selatan (Tapsel), Drs Rahudman Harahap (RH), sebagai tersangka baru dalam dugaan korupsi Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintahan Desa (TPAPD) Pemkab Tapsel tahun 2004 dan 2005.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajatisu) Sution Usman Adji melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) atau Humas Kejatisu, Edi Irsan Kurniawan, SH didampingi Kasi Penyidik Kejatisu, Jufri. SH Selasa (26/10) kepada wartawan mengatakan, RH yang kini menjabat sebagai walikota Medan, ditetapkan sebagai tersangka kasus TPAPD ketika masih menjabat sebagai Sekda Pemkab Tapsel, yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp1,5 miliar lebih.

Masa itu terdapat dugaan tindak pidana korupi pembebanan kas daerah pada pembayaran panjar TPAPD, yang permintaan dan pembayaran dilakukan sementara anggaran tersebut belum ditetapkan dalam APBD Tapsel maupun Peraturan Daerah (Perda).

Penetapan RH sebagai tersangka berdasarkan telaah dan fakta dari berkas perkara mantan Bendaharawan Sekda Pemkab Tapsel, Amrin Tambunan (AT) yang persidangannya bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Padang Sidempuan.

Dalam dakwaan itu, terang Edi, dugaan korupsi ini dilakukan secara bersama-sama. Kejatisu memperoleh fakta akurat dari penelitian berkas perkara AT, dan terungkap keterlibatan RH selaku pejabat pengguna anggaran kas daerah Pemkab Tapsel.

AT dan RH diduga secara bersama melakukan permintaan pembayaran terhadap kas daerah yang dilakukan lebih dari satu kali untuk pembayaran panjar kekurangan TPAPD. AT mengajukan permintaan pembayaran dalam bentuk Surat Permintaan Pembayaran atau Nota Dinas Panjar, yang diduga disetujui RH selaku Sekda atau Kuasa Pengguna Anggaran, lalu dicairkan Kabag Keuangan, dan dibayarkan Bendahara Umum Daerah. Sementara anggaran tersebut belum disahkan dalam APBD 2005.

Dana yang dialokasikan di Bagian Pemerintahan Desa Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) pada APBD Tapsel tahun 2005 senilai Rp5.955.390.000. Namun, selain pencairannya dilakukan sebelum ada pengesahan, ternyata tidak semua dana itu dicairkan kepada para penerima.

Menurut hasil penyelidikan penyidik Poldasu dan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), total anggaran dicairkan hanya Rp4.364.444.500. Sisanya Rp1.590.944.000 diduga dipergunakan bukan untuk peruntukannya. Dari persidangan AT di PN Padang Sidempuan, terungkap uang tersebut dipergunakan untuk menutupi uang kekurangan perjalanan dinas RH.

Walaupun Kejatisu telah menetapkan RH sebagai tersangka dugaan korupsi tersebut, namun belum dilakukan penahanan terhadap RH, sebab pihak Kejatisu harus mendapat izin terlebih dahulu dari Presiden untuk memeriksa RH.**analisadaily.com**

TOP

Kejari Medan Limpahkan 3 Tersangka Korupsi Rp 13,6 M Ruilslag KBM ke PN Medan

Medan, 22 Oktober 2010

Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan, Kamis (21/10) telah melimpahkan 3 tersangka korupsi terkait pelaksanaan ruilslag (tukar guling) lahan/bangunan Kebun Binatang Medan(KBM) dari Jl Brigjen Katamso Medan ke lokasi baru Kel Simalingkar B Medan Tuntungan.

Ketiga tersangka, mantan Sekda/mantan Wakil Walikota Medan Dr Ramli Lubis MM, mantan Kepala Kantor Pelayanan PBB Medan II Tarmizi dan Dirut PT Gemilang Kreasi Utama (GKU) Hariyono,yang tidak ditahan sejak penyidikan Kejagung di Jakarta hingga penyerahannya ke Kejatisu.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Medan Raja Nafrizal SH MH yang dikonfirmasi wartawan, Kamis (21/10) malam membenarkan, ia telah menandatngani surat perintah kepada Tim JPU (jaksa Penuntut umum) untuk pelimpahan perkara berikut ketiga tersangka korupsi tersebut ke pengadilan.

“Saya sudah teken perintah pelimpahan perkara itu kemarin, tapi coba ceking ke Kasi Pidsus apa sudah dilaksanakan,” kata Raja yang baru tugas di Medan, yang tadinya Asintel Kejati Lampung. Kasi Pidsus Kejari Medan Dharmabella Timbaz SH MH yang ditanya wartawan, membenarkan pelimpahan berkas perkara berikut tersangka telah dilakukan, Kamis (21/10).

“Tim JPU sudah melimpahkan ketiga berkas perkara korupsi terkait ruilslag KBM itu dan diterima Panitera Muda Pidana PN Medan.Surat dakwaan juga sudah kita siapkan,selanjutnya tim JPU menunggu panggilan sidang,” kata Dharmabella tanpa merinci materi kasus korupsi itu dengan alasan karena belum disidangkan. Diinformasikan, dalam pelaksanaan ruilslag KBM sekitar 2004 itu diduga terjadi penyimpangan seperti penetuan nilai tanah untuk penjualan yang lama maupun dalam pembelian yang baru serta dalam penentuan NJOP, hingga menimbulkan kerugian Rp 13,6 miliar.

“Sejak pelimpahan itu kewenangan penahanan ada pada hakim. Soal ditahan atau tidak ketiga tersangka,sudah wewenang hakim sejak pelimpahan dari Kejaksaan,” kata Dharmabella.Dikatakan, keberadan Ramli Lubis saat ini di Rutan Tg Gusta adalah menjalani vonis perkara korupsi yang lain yaitu soal Damkar (Pengadaan mobil kebakaran) bersama Abdillah walikota Medan waktu itu. Sedang soal kasus ruilslag KBM, Ramli tidak dikenakan tahanan mulai penyidikan Kejagung.**hariansib.com**

TOP

Kasus Dugaan Korupsi, Hakim PN Kabanjahe Vonis Bebas Mantan Direktur RSU Kabanjahe

Medan, 22 Oktober 2010

Hakim PN Kabanjahe, Rabu (20/10) petang memvonis bebas mantan Direktur RSU Kabanjahe dr Suara Ginting, terdakwa kasus dugaan korupsi penggunaan anggaran alat-alat kesehatan (Alkes) dan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di RSU Kabanjahe senilai Rp 1.414.100.000 yang bersumber dari dana APBD Karo TA 2008. Sebelumnya, mantan Direktur RSU Kabanjahe dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) 7 tahun penjara, Rabu (8/9) lalu. JPU juga menuntut dikenakan denda kepada terdakwa sebesar Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan, membayar uang pengganti secara bersama-sama secara khusus kepada dr SG sebesar Rp 173.030.840 subsider 3 tahun dan 6 bulan penjara dan membayar ongkos perkara Rp 10 ribu. Pembacaan vonis bebas itu disampaikan majelis hakim yang diketuai Yohanes Priyana SH MH didampingi hakim anggota David Panggabean SH dan Jesael Manullang SH. Sementara JPU Jeky Kaban SH.

Menurut majelis hakim Yohanes Priyana yang juga Ketua PN Kabanjahe itu, bahwa terdakwa sama sekali tidak melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan yang disangkakan dan dakwaan JPU.
”Oleh karena itu, terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan alternatif kedua dan mengembalikan harkat dan martabat terdakwa,” ungkapya.

Ketika hal itu dikonfirmasi wartawan ke Ketua PN Kabanjahe Yohanes Priyana, Kamis (21/10) membenarkan terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan JPU. Disinggung apa yang menjadi dasar dan pertimbangan majelis hakim membebaskan terdakwa, Yohanes Priyana enggan memberikan penjelasan secara rinci, sembari mengarahkan wartawan kepada Humas PN Kabanjahe, Jesael Manullang SH. “Kalau soal itu, sama Humas PN Kabanjahe saja ditanyakan,” ungkapnya.

Sebelumnya JPU menuntut terdakwa 7 tahun penjara dan dijerat pasal 2 ayat 1 Jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.Dalam pengadaan proyek itu, JPU dalam dakwaannya adanya perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 519.092.522.Menanggapi vonis bebas itu, JPU Jeky Kaban SH kepada wartawan di ruang kerjanya, Kamis (21/10) mengatakan, akan mengajukan kasasi ke MA RI atas putusan yang tidak murni itu.

Lebih lanjut dikatakan, ia meminta kepada majelis hakim agar putusan yang lengkap segera diserahkan ke JPU untuk membuat penyusunan memori kasasi.
Berdasarkan catatan SIB, sejumlah kasus perkara dibebaskan oleh majelis hakim PN Kabanjahe. Di antaranya, membebaskan tiga terdakwa terkait kasus trafficking (perdagangan orang, red) pada persidangan Pengadilan Negeri (PN) Kabanjahe, Senin (5/7) lalu.

Ketiga terdakwa yang dibebaskan itu, dua oknum PNS Dinas Sosial UPTD Parawasa Berastagi masing-masing Respan Ginting (47) warga Desa Kidupen Kecamatan Juhar dan Delman Ginting (32) warga Komplek Parawasa Berastagi serta pemilik cafe Irfan Harahap warga Desa Huta Dolok Kecamatan Lubuk Barumun Kabupaten Tapanuli Selatan.
Demikian juga terdakwa pemilik Narkoba jenis ganja, Hebat Sembiring. Kedua kasus yang dibebaskan itu ditangani majelis hakim dalam persidangan yang diketuai Tira Tirtona SH didampingi Sinta G Pasaribu SH dan Rina Lestari Sembiring SH, Senin (15/3) lalu. Kedua kasus itu dipimpin majelis hakim Tira Tirtona SH, Sinta G Pasaribu dan Rina Lestari. **hariansib.com**

TOP

Kejagung: Saksi yang Diajukan Yusril Harus Relevan dan Kompeten

Senin, 18 Oktober 2010

Kejaksaan Agung menilai permohonan tersangka dugaan korupsi pada Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra untuk menghadirkan saksi meringankan dalam kasus itu, harus relevan dan berkompeten.
"Sampai saat ini, tidak ada dokumen yang terkait dengan saksi meringankan yang diajukan oleh Yusril. Saksi itu harus ada relevansinya, yaitu yang mengalami, mengetahui, dan mendengar," kata salah satu jaksa penyidik Kasus Sisminbakum, Andi Herman, Jumat (15/10).

Menurutnya, pihak kejagung telah menanyakan, apakah tersangka telah mengkonfirmasi kesediaan saksi yang diajukan.

“Kesediaan saksi sangat penting, karena diajukan sebagai saksi yang meringankan,” ujar Andi.
Kemudian ia menambahkan, kejagung juga harus melihat kompetensi saksi untuk memberikan kesaksian dalam kasus yang disidik ini, ada relevansi atau tidak.
“Karena dalam kasus Sismbakum itu, terkait dengan kebijakan terhadap penetapan tarif bagi setiap pemohon pembuatan badan hukum oleh pemohon/notaris melalui Sisminbakum, bukannya pada kebijakan layanan atau pelaksanaan Sisminbakum,” terangnya.

Meskipun demikian, menurutnya, Kebijakan layanan Sisminbakum, tentu harus didukung. Layanan ini baik untuk mempercepat proses pembuatan badan hukum.

“Kebijakan penetapan tarif itu menyalahi aturan atau di luar ketentuan PNBP, dengan tarif pembuatan badan hukum sebesar Rp. 1.350.000 yang seharusnya sebesar Rp. 200 ribu,” ucapnya.

Penetapan tersangka Yusril Ihza Mahendra itu bersama Hartono Tanoesudibyo, berdasarkan dari hasil putusan Mahkamah Agung untuk terpidana Yohanes Woworuntu,” tutupnya. **kejagung.go.id**

TOP

Kejagung: Pungutan Akses Fee Itu Keuangan Negara

Senin, 18 Oktober 2010

Kejaksaan Agung meluruskan pemberitaan yang berkembang di masyarakat terkait dengan kasus Sisminbakum dengan tersangka Yusril ihza Mahendra dan hartono Tanoesoedibyo yang sekarang masih tahap penyidikan. Penyidikan tersebut berawal dari keluarnya putusan Mahkamah Agung RI (MA) dalam perkara tersangka Yohanes Waworuntu.
“Perlu dicatat, ini merupakan tindak pidana korupsi dan ia terbukti bersalah,” ujarnya seorang jaksa penyidik, Andi Herman, Jumat (15/10).

Andi Herman menerangkan, di dalam perbuatan tindak pidana korupsi itu ada uang pengganti yang harus dibayarkan. Uang pengganti tersebut adalah merupakan keuangan Negara.

“Ada perbuatan tindak pidana korupsi dan ada keuangan negara, ini untuk menghindari polemik bahwa apakah pungutan akses fee merupakan keuangan negara atau tidak, ini sudah putusan berkekuatan hukum tetap bahwa itu adalah keuangan negara,” jelasnya.

Berdasarkan hal itu, Andi Herman mengatakan, dengan menelaah beberapa hal yang terjadi, ternyata dalam putusan terdakwa Yohanes Wooworuntu itu bersama-sama dengan orang lain melakukan tindak pidana, diantaranya adalah Prof. DR Romli Atmasasmita.

“Jadi, Prof. DR Romli Atmasasmita menyalahgunakan kedudukan dengan memberi kesempatan kepada pihak swasta melakukan pungutan, sehingga pihak swasta menggunakan kesempatan atas penyalahgunaan tersebut, dalam hal ini Dirjen AHU ketika itu,” tegasnya.

Setelah diteliti lebih jauh, Andi Herman menyatakan, ternyata tindakan yang dilakukan oleh Dirjen AHU yang memberi kesempatan kepada Yohanes Waworuntu, adalah merupakan tindak lanjut pelimpahan keputusan yang telah dikeluarkan oleh tersangka Prof. DR. Yusril Ihza mahendra.

“Itu merupakan turunan keputusan yang lebih tinggi, itu konstruksi perbuatan yang ada dalam kasus ini. Tidak ada kaitannya dengan adanya kepentingan lain diluar daripada kepentingan yuridis yang bersumber dari Keputusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap,” tuturnya.

Menurutnya, setelah dilakukan penyidikan, setelah diperoleh beberapa fakta, ternyata ada pihak lain yang terlibat. Untuk itulah kemudian dikembangkan sehingga diperoleh bukti yang cukup adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terangka prof. DR. Yusril Ihza Mahendra maupun hartono Tanusudibyo.

“Ini konstruksi kasus Sisminbakum dalam penyidikan yang sedang berlangsung sekarang ini,” pungkasnya.**kejagung.go.id**

TOP

KEJAKSAAN DILARANG SITA BUKU

Jum'at, 15 Oktober 2010

Keputusan MK mencabut hak penyitaan dan pelarangan buku disambut baik oleh banyak kalangan. Disamping membatalkan UU 4/PNPS/1963, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan UU 16/2004 Tentang Kejaksaan pasal 30 ayat (3) huruf c yang menyoal kewenangan pengawasan peredaran buku oleh Kejaksaan Agung.

Akan tetapi, menurut Taufik Basari kuasa hukum pemohon, hal tersebut bukanlah permasalahan. Pasalnya, Undang-Undang yang menjadi pegangan utama telah dibatalkan oleh MK.

“MK memang menyatakan seluruh isi UU 4/PNPS/1963 bertentangan dengan UUD 1945 sementara pasal 30 ayat (3) huruf C UU Kejaksaan masih berlaku. Lain memang, frasanya adalah pengawasan,” kata Taufik (13/10).

Menurut Taufik, latar belakang kenapa UU Kejaksaan ikut di Uji Materiilkan adalah lebih karena Kejaksaan Agung menafsirkan pengawasan itu sebagai kewenangan untuk melarang.

Akan tetapi, menurutnya, karena undang-undang yang menjadi pegangan utama yakni UU 4/PNPS/1963 sudah tidak berlaku lagi maka dengan sendirinya keberadaan pasal pengawasan di UU Kejaksaan menjadi tidak bermasalah lagi. “Kejaksaan silahkan saja melakukan pengawasan, tapi tak sampai menyita dan melakukan pelarangan buku,” tandasnya.

Seperti diketahui, MK mencabut kewenangan penyitaan dan pelarangan buku oleh pemerintah. Pencabutan kewenangan itu berlaku sejak UU 4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dibatalkan MK.**jpnn.com**

TOP

5 CALON JAKSA AGUNG VERSI ICW

Jum'at, 15 Oktober 2010


Presiden SBY diminta menunjuk Jaksa Agung pengganti Hendarman Supandji dengan orang-orang kredibel. Indonesia Corruption Watch (ICW) menggadang-gadang 5 nama yang dinilai layak memimpin Korps Adhyaksa.

Lima tokoh tersebut yakni Todung Mulya Lubis, Busyro Muqqodas, Bambang Widjojanto, Yunus Husein, dan Hakristuti Hakrisnowo. Nama mereka muncul sebagai hasil penjaringan saran dan masukan dari masyarakat.

"ICW tidak merekomendasikan nama dan tidak mengkampanyekan. Setidaknya lima nama itu yang yang layak," kata Emerson usai diskusi di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (24/9/2010).

Emerson juga meminta Presiden membuka bursa nama calon Jaksa Agung kepada masyrakat. Hal ini penting agar masyarakat juga bisa memberi masukan kepada Presiden terkait rekam jejak kandidat yang disebutkan.

"Agar dibuka bursa seluas-luasnya kepada masyrakat," kata dia.

Emerson mengatakan, ICW memang mendorong agar Jaksa Agung berikutnya berasal dari luar Kejaksaan alias non-karier. Alasannya, agar Jaksa Agung berikutnya bisa tegas terhadap kalangan internal Kejaksaan yang bermasalah, seperti yang tersangkut korupsi.

"Agar tidak ada eweuh pakeweuh. Kalau Jaksa Agung dari dalam, espirit de corps masih kental," kata Emerson. Dia menambahkan, Jaksa Agung mendatang hendaknya juga melakukan reformasi birokrasi lewat perbaikan remunerasi. **detikNews**

TOP

MENDIRIKAN UNIVERSITAS KORUPSI

Kamis, 14 Oktober 2010.

Mr. Korup berencana menyiapkan sebuah sekolah tinggi yang berbasis pada disiplin ilmu korupsi. Kampusnya akan didirikan di seluruh Indonesia. Dan program studi yang disepakati adalah Program Studi Teknik Korupsi (S1). Gelar yang didapatkan adalah Sarjana Korupsi S. Krop (Sekrop)

Berikut mata kuliah keahlian yang diajarkan pada Program Studi Teknik Korupsi:

1. Pengantar Ilmu Korupsi 2 SKS
2. Pengantar Budaya Korupsi 2 SKS
3. Perekonomian Indonesia 2 SKS
4. Korupsi Dasar I 8 SKS
5. Matematika Korupsi 4 SKS
6. Hukum Dagang dan Perdata 3 SKS
7. Sistem Korupsi 4 SKS
8. Sejarah Korupsi 2 SKS
9. Korupsi Dasar II 4 SKS
10. Manajemen Korupsi 2 SKS
11. Perilaku Organisasi 2 SKS
12. Studi Kelayakan Korupsi 4 SKS
13. Pengantar Aplikasi Korupsi 8 SKS
14. Manajemen Proyek 4 SKS
15. Korupsi Menengah I 4 SKS
16. Korupsi Menengah II 4 SKS
17. Aplikasi Korupsi 8 SKS
18. Kapita Selekta Pengantar Bertahan Hidup di Bui 4 SKS

Tempat Magang:
1. Departemen Keuangan
2. KPU
3. BUMN
4. Departemen Agama.

Anda Berminat?.

Peta Google

Related Posts with Thumbnails